Tinta Media - Baru
saja masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita meninggalnya seorang pemudi
di Kabupaten Bogor. Parahnya lagi, pemudi tersebut meninggal ketika membuat
konten mencoba gantung diri. Hal ini di benarkan oleh Kompol Agus selaku
Kapolres Leuwiliang, daerah tempat tinggal korban tersebut. Beliau memaparkan,
hal ini terjadi saat korban mengatakan pada teman-temannya via Video Call
akan membuat live dan melakukan konten, naasnya korban tersebut meninggal saat
melakukan percobaan tersebut (cnnindonesia.com, 3/3/2023)
Konten semacam ini bukan lah pertama
kali muncul dan mencuat di jagat dunia maya, lekat diingatan bagaimana beberapa
waktu lalu juga pernah dibuat konten melawan maut, dimana beberapa pemuda
berusaha menabrakan dirinya ke arah truk yang sedang berjalan, dan sekali lagi
berakhir dengan meninggal. Tak sedikit konten-konten yang ada di media sosial
bukan lah sesuatu yang bermafaat, ada yang sifatnya menghibur, memamerkan harta
yang entah dari mana sumbernya, dan bahkan lebih jauh lagi bisa membahayakan
nyawa seseorang.
Adiksi Media Sosial
Pembuatan
berbagai macam konten demi menaikkan viewer, follower sampai engagement
di dunia maya mengantarkan kita pada pandangan bahwa salah satu efek negatif dari
penggunaan media sosial adalah, seseorang tidak bisa membedakan realitas pada
dunia maya dan dunia nyata. Sehingga kebanyakan pemuda saat ini lebih nyaman
untuk melakukan aktivitas sosial pada dunia maya dan terjebak pada hal
tersebut.
Dalam
sebuah Jurnal Psikologi tentang
penggunaan media sosial, dikatakan bahwa ketergantungan akan media sosial
berperan dalam memediasi hubungan antara harga diri dan kesejahteraan psikologis.
Dalam artian, harga diri seseorang menjadi salah satu faktor dalam penggunaan
media sosial. Semakin dalam dan semakin lama seseorang menggunakan media
sosial, harga dirinya semakin bangkit, terlebih lagi dengan “branding” yang ia
buat dalam media sosial, entah itu sebagai konten kreator, atau pun influencer.
Kesejahteraan psikologis sendiri diartikan sebagai perasaan nyaman ketika
didapatkan sesuatu yang positif dari menggunakan internet, salah satunya akses
kemudahan dalam berinteraksi atau bekerja secara cepat hanya dengan mengirim
tugas lewat e-mail.
Hal
ini diperkuat lagi dengan keberadaan jenis pekerjaan baru yakni Influencer
media social, mereka didefiniskan sebagai orang yang memiliki banyak pengikut
dalam satu platform media sosial, yang aktivitasnya bisa mempengaruhi pengikutnya.
Dengan keberadaan pekerjaan ini, orang kemudian berlomba-lomba untuk
menghasilkan uang dengan menjadi influencer tersebut. Bisa terlihat dari
bagaimana banyaknya berita viral kemudian influencer dadakan yang terjadi
belakangan ini, memunculkan satu bukti bahwa begitu tertariknya orang di media
sosial akan konten yang entah itu bermanfaat atau tidak, yang terpenting bisa
menghasilkan sesuatu.
Pemuda Menjadi Alat Kapitalisme
Perasaan bahagia dari banyaknya orang
yang mengikuti kita di media sosial, ataupun menyukai konten yang kita buat,
memberikan efek tersendiri bagi pemilik
konten. Sehingga, mereka melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang produktif.
Saking dianggap pentingnya, suatu platform media sosial membuat kebijakan
berupa menghapus tombol dislike. CEO Youtube mengungkapkan bahwa, tombol
tersebut bisa melukai konten creator kecil sehingga mereka tidak bisa
berkembang nantinya
Hal ini makin memperkokoh pemahaman,
bahwa produksi konten yang ada sejatinya hanya menguntungkan para pemilik
perusahaan besar yang bergerak di media sosial, sedangkan para pemuda yang
tidak paham akan penggunaan dan pemanfaatan media sosial semestinya hanya
menjadi korban dari efek besar konten yang ada dan terkaburkan dengan pemahaman
bisa menghasilkan sesuatu.
Terkaburkannya pemahaman tentang
materi ditambah dengan kemudahan akses internet yang begitu cepat mengantarkan
para pemuda pada kesibukan yang sifatnya sia-sia semata. Taraf berpikir yang
rendah mengakibatkan mereka dengan mudahnya membuat konten tanpa memperhatikan
keselamatan mereka, sekali lagi demi kepentingan “materi” semata. Bergesernya nilai-nilai serta pandangan hidup tidak lepas
dari sistem kapitalisme yang ada. Dimana sistem ini mendorong mereka yang hidup
didalamnya untuk mengikuti algoritma yang tekah dibuat, yakni mengikuti kemauan
pasar. Jika suatu konten sedang viral, maka mengikutlah seluruh orang untuk
membuat konten serupa, termasuk gaya “flexing” atau memamerkan harta yang memunculkan rasa iri kepada yang
menonton. Tak sedikit pelaku flexing berakhir pada meja hukum, misalnya
terjerat pinjaman online, pencurian bahkan penggelapan pajak dari hasil gaya
hidup mewah yang mereka pamerkan.
Sejatinya,
pemuda adalah tonggak peradaban. Ketika pemuda disibukkan apda hal-hal yang
tidak bermanfaat maka bisa dipastikan beradaban di masa depan akan hancur.
Perlahan hal ini sudah terlihat didepan mata, bagaimana ketika para pemuda
tidak punya pemahaman yang kokoh lahir lah strawberry generation yang
begitu rapuh dari dalam, dan mudah terjangkit penyakit mental. Ditambah lagi
arus pemikiran yang serba salah dari Barat, membuat pemuda dengan gampangnya
berkiblat pada hal tersebut, semua yang berasal dari barat dianggap kemajuan
peradaban, termasuk pola pikir bahwa penyimpangan perilaku seksual adalah
sebuah kewajaran yang terjadi pada masyarakat.
Pemuda dalam pandangan Islam
Islam memandang pemuda adalah salah
satu aset penting yang dimiliki sebuah peradaban. Saking pentingnya, tidak
dibiarkannya mereka tersibukkan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Keberhasilan besar bahkan kebanyaan dilakukan oleh pemuda. Hal ini tidak terlepas dari keinginann para
pemuda untuk melakukan kontribusi besar untuk kebermanfaatan banyak umat,
termasuk umat Islam.
Teringat jelas bagaimana Muhammad Al
Fatih di Usia awal 20 menaklukkan Konstatinopel. Di zaman Rasulullah tersebut
nama Zaid bin Tsabit yang sejak berusia 13 tahun berperan besar dalam mengumpukan
dan menuliskan wahyu, sehingganya sampai sekarang kita masih bisa menggunakan
mushaf yang hari ini terkenal disebut dengan mushaf ustmani. Termasyhur juga
sebuah nama di zaman tabiin, yakni Imam Al Bukhari, saat usia 10 ia buta, namun
tidak menyurutkan semangatnya untuk mengkaji ilmu, hingga di usia 16 tahun
beliau menjadi seorang alim ulama
Kegigihan dan semangat ini tentu
tidak lahir dari teralihkannya pemikiran umat seperti yang terjadi saat ini.
Diperlukan sebuah institusi yang menjaga agar fokus pemuda tidak teralihkan.
Sistem pemerintahan islam yang diterapkan selama hampir
13 abad lamanya telah membuktikan begitu terjaganya pemuda saat itu penerapan Islam kafah dalam Khilafah akan memastikan
terpenuhinya kebutuhan rakyat. “Khilafah akan mengarahkan peran pemuda untuk
mempersiapkan diir mereka menjadi ahli untuk kemaslahatan umat dan negara
melalui penerapan sistem Pendidikan. Pembinaan tsaqafah Islam oleh
Khilafah nantinya yang akan melejitkan potensi pemuda untuk mengemban amanah sebagai
agent of change yakni penjaga penerapan syariat dan siap mendakwahkan
Islam ke seluruh dunia.
Sumber
2. Pertiwi, E.M.,
Suminar, D.R. & Ardi, R. (2022). Psychological well-being among Gen Z
social media users: Exploring the role of self-esteem, social media dependency
as mediator and social media usage motives as moderator. Indigenous: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 7 (3). 205-219. doi:
https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i2.19851
Oleh: dr. Sakinatul Qulub
Sahabat Tinta Media