Merenggut Nyawa, Efek Konten tak Berfaedah bagi Pemuda - Tinta Media

Selasa, 14 Maret 2023

Merenggut Nyawa, Efek Konten tak Berfaedah bagi Pemuda

Tinta Media  - Baru saja masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita meninggalnya seorang pemudi di Kabupaten Bogor. Parahnya lagi, pemudi tersebut meninggal ketika membuat konten mencoba gantung diri. Hal ini di benarkan oleh Kompol Agus selaku Kapolres Leuwiliang, daerah tempat tinggal korban tersebut. Beliau memaparkan, hal ini terjadi saat korban mengatakan pada teman-temannya via Video Call akan membuat live dan melakukan konten, naasnya korban tersebut meninggal saat melakukan percobaan tersebut (cnnindonesia.com, 3/3/2023)

            Konten semacam ini bukan lah pertama kali muncul dan mencuat di jagat dunia maya, lekat diingatan bagaimana beberapa waktu lalu juga pernah dibuat konten melawan maut, dimana beberapa pemuda berusaha menabrakan dirinya ke arah truk yang sedang berjalan, dan sekali lagi berakhir dengan meninggal. Tak sedikit konten-konten yang ada di media sosial bukan lah sesuatu yang bermafaat, ada yang sifatnya menghibur, memamerkan harta yang entah dari mana sumbernya, dan bahkan lebih jauh lagi bisa membahayakan nyawa seseorang.

 

Adiksi Media Sosial

Pembuatan berbagai macam konten demi menaikkan viewer, follower sampai engagement di dunia maya mengantarkan kita pada pandangan bahwa salah satu efek negatif dari penggunaan media sosial adalah, seseorang tidak bisa membedakan realitas pada dunia maya dan dunia nyata. Sehingga kebanyakan pemuda saat ini lebih nyaman untuk melakukan aktivitas sosial pada dunia maya dan terjebak pada hal tersebut.

Dalam sebuah Jurnal Psikologi  tentang penggunaan media sosial, dikatakan bahwa ketergantungan akan media sosial berperan dalam memediasi hubungan antara harga diri dan kesejahteraan psikologis. Dalam artian, harga diri seseorang menjadi salah satu faktor dalam penggunaan media sosial. Semakin dalam dan semakin lama seseorang menggunakan media sosial, harga dirinya semakin bangkit, terlebih lagi dengan “branding” yang ia buat dalam media sosial, entah itu sebagai konten kreator, atau pun influencer. Kesejahteraan psikologis sendiri diartikan sebagai perasaan nyaman ketika didapatkan sesuatu yang positif dari menggunakan internet, salah satunya akses kemudahan dalam berinteraksi atau bekerja secara cepat hanya dengan mengirim tugas lewat e-mail.

Hal ini diperkuat lagi dengan keberadaan jenis pekerjaan baru yakni Influencer media social, mereka didefiniskan sebagai orang yang memiliki banyak pengikut dalam satu platform media sosial, yang aktivitasnya bisa mempengaruhi pengikutnya. Dengan keberadaan pekerjaan ini, orang kemudian berlomba-lomba untuk menghasilkan uang dengan menjadi influencer tersebut. Bisa terlihat dari bagaimana banyaknya berita viral kemudian influencer dadakan yang terjadi belakangan ini, memunculkan satu bukti bahwa begitu tertariknya orang di media sosial akan konten yang entah itu bermanfaat atau tidak, yang terpenting bisa menghasilkan sesuatu.

Pemuda Menjadi Alat Kapitalisme

Perasaan bahagia dari banyaknya orang yang mengikuti kita di media sosial, ataupun menyukai konten yang kita buat, memberikan efek tersendiri bagi  pemilik konten. Sehingga, mereka melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang produktif. Saking dianggap pentingnya, suatu platform media sosial membuat kebijakan berupa menghapus tombol dislike. CEO Youtube mengungkapkan bahwa, tombol tersebut bisa melukai konten creator kecil sehingga mereka tidak bisa berkembang nantinya

Hal ini makin memperkokoh pemahaman, bahwa produksi konten yang ada sejatinya hanya menguntungkan para pemilik perusahaan besar yang bergerak di media sosial, sedangkan para pemuda yang tidak paham akan penggunaan dan pemanfaatan media sosial semestinya hanya menjadi korban dari efek besar konten yang ada dan terkaburkan dengan pemahaman bisa menghasilkan sesuatu.

Terkaburkannya pemahaman tentang materi ditambah dengan kemudahan akses internet yang begitu cepat mengantarkan para pemuda pada kesibukan yang sifatnya sia-sia semata. Taraf berpikir yang rendah mengakibatkan mereka dengan mudahnya membuat konten tanpa memperhatikan keselamatan mereka, sekali lagi demi kepentingan “materi” semata. Bergesernya  nilai-nilai serta pandangan hidup tidak lepas dari sistem kapitalisme yang ada. Dimana sistem ini mendorong mereka yang hidup didalamnya untuk mengikuti algoritma yang tekah dibuat, yakni mengikuti kemauan pasar. Jika suatu konten sedang viral, maka mengikutlah seluruh orang untuk membuat konten serupa, termasuk gaya “flexing” atau memamerkan harta  yang memunculkan rasa iri kepada yang menonton. Tak sedikit pelaku flexing berakhir pada meja hukum, misalnya terjerat pinjaman online, pencurian bahkan penggelapan pajak dari hasil gaya hidup mewah yang mereka pamerkan.

          Sejatinya, pemuda adalah tonggak peradaban. Ketika pemuda disibukkan apda hal-hal yang tidak bermanfaat maka bisa dipastikan beradaban di masa depan akan hancur. Perlahan hal ini sudah terlihat didepan mata, bagaimana ketika para pemuda tidak punya pemahaman yang kokoh lahir lah strawberry generation yang begitu rapuh dari dalam, dan mudah terjangkit penyakit mental. Ditambah lagi arus pemikiran yang serba salah dari Barat, membuat pemuda dengan gampangnya berkiblat pada hal tersebut, semua yang berasal dari barat dianggap kemajuan peradaban, termasuk pola pikir bahwa penyimpangan perilaku seksual adalah sebuah kewajaran yang terjadi pada masyarakat.

 

 

Pemuda dalam pandangan Islam

Islam memandang pemuda adalah salah satu aset penting yang dimiliki sebuah peradaban. Saking pentingnya, tidak dibiarkannya mereka tersibukkan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Keberhasilan besar bahkan kebanyaan dilakukan oleh pemuda.  Hal ini tidak terlepas dari keinginann para pemuda untuk melakukan kontribusi besar untuk kebermanfaatan banyak umat, termasuk umat Islam.

Teringat jelas bagaimana Muhammad Al Fatih di Usia awal 20 menaklukkan Konstatinopel. Di zaman Rasulullah tersebut nama Zaid bin Tsabit yang sejak berusia 13 tahun berperan besar dalam mengumpukan dan menuliskan wahyu, sehingganya sampai sekarang kita masih bisa menggunakan mushaf yang hari ini terkenal disebut dengan mushaf ustmani. Termasyhur juga sebuah nama di zaman tabiin, yakni Imam Al Bukhari, saat usia 10 ia buta, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk mengkaji ilmu, hingga di usia 16 tahun beliau menjadi seorang alim ulama

Kegigihan dan semangat ini tentu tidak lahir dari teralihkannya pemikiran umat seperti yang terjadi saat ini. Diperlukan sebuah institusi yang menjaga agar fokus pemuda tidak teralihkan. Sistem pemerintahan islam yang diterapkan selama hampir 13 abad lamanya telah membuktikan begitu terjaganya pemuda saat itu penerapan Islam kafah dalam Khilafah akan memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat. “Khilafah akan mengarahkan peran pemuda untuk mempersiapkan diir mereka menjadi ahli untuk kemaslahatan umat dan negara melalui penerapan sistem Pendidikan. Pembinaan tsaqafah Islam oleh Khilafah nantinya yang akan melejitkan potensi pemuda untuk mengemban amanah sebagai agent of change yakni penjaga penerapan syariat dan siap mendakwahkan Islam ke seluruh dunia.


Sumber

1.      https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230303165021-20-920487/coba-coba-konten-gantung-diri-perempuan-di-bogor-tewas-terlilit-kain

2.  Pertiwi, E.M., Suminar, D.R. & Ardi, R. (2022). Psychological well-being among Gen Z social media users: Exploring the role of self-esteem, social media dependency as mediator and social media usage motives as moderator. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7 (3). 205-219. doi: https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i2.19851


Oleh: dr. Sakinatul Qulub

Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :