Liberalisasi Pemuda di Bawah Naungan Kapitalisme - Tinta Media

Jumat, 17 Maret 2023

Liberalisasi Pemuda di Bawah Naungan Kapitalisme

Tinta Media - Kawula muda masih menjadi perbincangan yang selalu menarik. Harapannya, pemuda menjadi generasi pelanjut untuk perubahan masa depan ke arah yang lebih baik. Mirisnya, makin banyak tindak kekerasan dan perbuatan negatif lain yang dilakukan oleh pemuda. Ini menggambarkan bahwasanya ada yang salah dalam sistem kehidupan saat ini, mulai dari gagalnya sistem pendidikan membentuk anak didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, lemahnya peran keluarga dalam meletakkan dasar  perilaku terpuji,  hingga rusaknya masyarakat.  

Contoh yang masih segar dalam ingatan adalah kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak Mario Dandy Satriyo, terhadap putra petinggi GP Ansor Jonathan Latumahina, David.

Ada juga kasus lima orang pemuda yang diketahui sebagai pelajar sekolah menengah yang diamankan Polres Purwakarta karena melakukan percobaan pencurian dengan kekerasan dan  penganiayaan. (jurnalpolri.com)

Ini baru sekelumit fakta persoalan yang terjadi pada pemuda. Seharusnya mereka menjadi agen pembaharu peradaban. Namun, pada faktanya mereka seakan tak bisa mengampu tugasnya sebagai pemuda. Mereka tidak ingin terbebani dengan harapan masa depan. 

Ini menunjukkan bahwa kondisi pemuda saat ini mengalami krisis kepribadian. Mereka hanya terpacu dengan tindakan liberal yang berlandaskan keinginan semata. Ditambah gaya hidup bebas dan keinginan untuk tidak terikat dengan aturan, menjadikan para pemuda jauh dari gambaran ideal sebagai generasi yang akan membawa kegemilangan.

Pendidikan, masyarakat, dan keluarga sebagai pilar pengokoh idealisme pemuda menjadi harapan terbesar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap para. Namun, nyatanya pilar ini menjadi kamuflase kelancaran ideologi kapitalis sekuler yang merajalela dan menjangkiti pemikiran para pemuda sehingga menjadikan sekularisme sebagai asas kehidupan mereka yang notabenenya sebagai seorang muslim.

Tentu hal ini sangat bertentangan dengan idealisme Islam. Jelaslah ketika kedua ideologi yang sifatnya bertentangan tersebut disatukan, maka akan terjadi tolak-menolak atau saling tumpang tindih dan akan menghasilkan kegagalan. 

Idealnya, orang yang mengimani Islam harus mengambil pula ideologinya, sehingga tercipta sistem kehidupan yang mampu menenteramkan. Karena itu, pendidikan tidak hanya membutuhkan sistem pendidikan yang berorientasi pada materi dan hanya transfer ilmu. Namun, pendidikan harus dibarengi dengan pembinaan kepribadian Islam sehingga proses dalam pendidikan tidak hanya berporos pada transfer ilmu tanpa ada efek yang dihasilkan darinya. 

Karena itu pembinaan kepribadian juga harus selalu disandingkan dengan pendidikan agar tercipta generasi mulia. Tentu pendidikan dengan asas kapitalisme sekuler tak akan mampu melahirkan generasi yang taat kepada Allah. Satu-satunya pendidikan yang mampu membentuk kepribadian mulia hanyalah dari sisi Islam saja.

Selain dari sisi pendidikan, keluarga juga menjadi poin dari keberhasilan terciptanya generasi yang bertakwa dan berakhlak mulia. Dari keluargalah awal mula mereka tumbuh dan mendapatkan pendidikan sehingga keluarga juga harus memiliki dasar yang kokoh dalam mendidik generasi. Keluarga akan menjadi awal pembentuk pola pikir dan pola sikap yang akan dibawa ketika berinteraksi dengan sesamanya. Pondasi keimanan keluarga menjadi salah satu tolok ukur dalam pembentukannya untuk menciptakan generasi mulia yang diharapkan.

Setelah pendidikan dan keluarga terarah pada orientasi Islam, maka masyarakat juga menjadi penopang tumbuh kembang anak, mulai dari perbuatan dan pola pikirnya. Hal ini karena masyarakat merupakam tempat paling dominan yang akan dijumpai anak untuk berinteraksi. Sehingga, ketika masyarat juga tidak ditopang dengan asas Islam, maka hal ini akan menjadi penghambat jalan untuk menemukan jati diri pemuda dan kebangkitan mulia yang diinginkan. Oleh karena itu, harusnya masyarakat dibentuk atas asas Islam yang dikokohkan oleh negara agar kehidupan beradap yang diberkahi mampu terealisasikan.

Semua kegagalan itu adalah buah dari kehidupan yang berdasar sekulerisme, yang menjadikan akal manusia sebagai penentu segala sesuatu. 

Berbeda ketika kita mengembalikannya pada sisi Islam, yaitu dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, keluarga, maupun masyarakat. Semuanya akan berorientasi pada akidah Islam sehingga akan membentuk kesadaran total. 

Masyarakat memahami bahwa dunia hanyalah tempat untuk menanam kebaikan, untuk dipanen di akhirat kelak. Hal ini akan menjaga setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Islam juga mewajibkan masyarakat dan negara sebagai pilar yang menjaga umat agar selalu dalam kebaikan. Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :