Tinta Media - Beberapa hari yang lalu, beredar berita tentang seorang perempuan asal Leuwiliang, Kabupaten Bogor yang ditemukan tewas dengan leher tergantung tali. Perempuan tersebut meninggal dunia saat sedang membuat konten gantung diri di depan teman-temannya melalui video call.
Tindakan ini bukanlah kejadian pertama. Kejadian serupa sudah pernah terjadi sebelumnya. Demi sebuah konten, seseorang nekat melakukan aksi yang berujung nyawa, seperti konten remaja menghadang truk yang sedang melaju di Bogor di awal tahun ini. Setelah berhasil merekam kejadian tersebut, mereka mengunggahnya di komunitas mereka di facebook, seolah menujukkan kehebatan karena berhasil melakukan aksi berbahaya ini.
Ketika eksistensi diri menjadi sesuatu yang diprioritaskan, seseorang merasa perlu unjuk keberanian demi pengakuan eksistensi, tak peduli jika aksi tersebut membahayakan nyawa.
Perkembangan media massa membuat hal ini semakin mudah. Membuat konten yang sensasional menjadi cara cepat untuk viral. Seseorang bisa dengan mudah menjadi terkenal dengan cepat tanpa harus membuat sebuah prestasi yang membutuhkan daya pikir dan kecerdasan akal. Jadilah pertunjukan eksistensi dengan berbagai konten termasuk yang membahayakan nyawa dilakukan.
Perilaku ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Konten berbahaya seperti ini jelas melanggar syariat yang melindungi dan menjaga nyawa manusia. Konten seperti ini jika dibiarkan, dikhawatirkan menjadi inspirasi yang menyesatkan bagi orang-orang yang labil jiwanya, mudah meniru tanpa berpikir mendalam.
Sungguh, perilaku ini sebenarnya adalah perilaku rendah yang disebabkan oleh tingkat berpikir yang rendah pula. Budaya ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam hidup ini. Kesalahan tersebut merupakan hasil dari sistem kehidupan yang diyakini masyarakat saat ini dalam segala aspeknya.
Sistem hari ini yang bertumpu pada sistem kapitalisme tidak mampu membuktikan keluhuran manusia dengan meninggikan cara berpikirnya. Kapitalisme merupakan pandangan hidup yang menganggap bahwa hidup adalah untuk mendapatkan materi demi kesenangan dan kebahagian dunia saja. Pengakuan terhadap eksistensi dirinya di dunia dari manusia lainnya, dianggap sesuatu yang penting, apalagi jika mendatangkan keuntungan materi. Mereka bahkan sampai rela mengorbankan nyawa demi mendapatkannya.
Masyarakat kapitalis menjadi latah mengikuti tren seperti ini karena mereka tidak memiliki standar benar atau salah. Bagi mereka, hidup yang penting adalah mendapatkan kesenangan. Sumber kebahagiaan mereka adalah kepuasan materi, termasuk kepuasan ketika eksistensi dirinya diakui.
Pengakuan terhadap eksistensi manusia merupakan bagian dari ekspresi penyaluran naluri mempertahankan diri (_gharizah baqa_). Dengan naluri ini, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan keberadaan dirinya di hadapan orang lain. Hal itu bersifat naluriah.
Hanya saja, ketika naluri ini tidak disalurkan secara benar, maka tidak saja pengakuan yang didapatkan, tetapi justru membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Pengakuan terhadap eksistensi secara positif dan dibenarkan dapat dilakukan melalui unjuk prestasi, baik prestasi akademik maupun non-akademik. Budaya saling berlomba-lomba untuk berprestasi seharusnya mendapatkan kemudahan akses, sarana dan dukungan negara.
Namun, yang terjadi justru negara terasa kurang mendukung hal tersebut. Aktivitas tersebut dianggap bukan sesuatu yang berpeluang mendatangkan keuntungan, jadi diabaikan. Negara kapitalisme yang mendasarkan kebijakannya berdasarkan materi, akan berhitung untung rugi.
Kita tentu masih ingat bagaimana seorang Farel Prayoga yang mendapatkan penghargaan sebagai duta intelektual hanya karena lagu ‘ojo dibandingke’ yang kontribusinya terhadap dunia intelektual sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Sementara, prestasi anak bangsa lainnya, seperti Bullitt Zulfiqar yang berusia 13 tahun diabaikan. Ia adalah _software engineer_ berpengalaman lebih dari 2 tahun yang membuat berbagai proyek IT.
Ada juga Kimiko Felice Humardani yang merupakan peneliti cilik berusia 15 tahun. Dia berpengalaman mengikuti lomba International Conference of Young Scientists (ICYS), yaitu meneliti serta mencoba mencari jalan masuk virus Corona dan menutupnya.
Ada juga Salwa Putri, seorang siswi MAN Insan Cendekia Pasuruan yang mendapatkan juara kedua International _Science Without Borders Challenge_ 2022. Mereka adalah sedikit contoh dari banyaknya prestasi anak bangsa yang minim pemberitaan di media.
Dalam sistem kapitalisme, sistem pendidikan yang diberlakukan jelas tidak melandaskan pada ajaran Islam. Generasi tidak dipahamkan tentang Islam sebagai way of life sehingga mereka secara individu tidak punya standar perbuatan yang benar. Kapitalisme telah gagal melahirkan generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang selaras dengan Islam.
Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam dan generasi yang ahli dalam setiap aspek kehidupan. Kepribadian Islam itu akan mampu membuat generasi berpikir dan bersikap secara Islami. Negara (Khilafah) akan menjaga kepribadian Islam itu dengan cara mengontrol media supaya tidak ada konten-konten nyeleneh yang bertebaran dan meracuni pemikiran generasi.
Bahkan, media akan digunakan sebagai sarana untuk memperkuat ketakwaan dan edukasi setiap orang yang mengaksesnya, sehingga semakin tersuasana kedekatan terhadap Allah dan membawa manfaat untuk sekitarnya.
Masyarakat tidak perlu membahayakan diri hanya demi eksistensinya diakui. Negara akan memberikan ruang untuk menggali potensi generasi sekaligus memaksimalkan potensi untuk memperoleh prestasi terbaik. Karena itu, tidak heran pada masa kekhilafahan Islam bermunculan generasi-generasi yang unggul di bidang ilmu yang ditekuni masing-masing. Sebut saja Al Khawarizmi_seorang ahli matematika, Jabir Ibnu Hayyan ahli kimia, Ibnu Sina_ahli kedokteran, dan sejumlah generasi cemerlang di zamannya. Generasi unggul di bawah naungan Khilafah mampu membawa Islam mencapai masa emas dan gemilang peradabannya.
Wallahua’lam bish shawab
Oleh: Imaz Ummu Farras
Sahabat Tinta Media