Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.SI., menjelaskan bolehnya pajak dengan syarat-syarat yang merujuk pada Islam.
“Bolehkah pajak di dalam Islam? Jawabannya ada, tapi bersyarat. Ada berarti dibolehkan dalam Islam, tetapi ada syarat-syaratnya yang merujuk atau bersumber dari Islam itu sendiri,” jelasnya pada rubrik Kajian Fikih: Hukum Islam tentang Pajak, Ternyata Begini, Jumat (3/3/2023) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
“Syarat yang bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunnah,” tegasnya melanjutkan.
USAJ sapaan akrab Ustadz Shiddiq memaparkan pajak dari segi istilah, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizamul Islam halaman 86. Istilah pajak yang terdapat dalam ekonomi Barat atau kapitalisme boleh dipakai oleh umat Islam karena faktanya Islam juga membolehkan negara yaitu Negara Islam atau istilahnya Khilafah untuk mengambil harta dari warga negara untuk memenuhi keperluan negara.
“Jadi ini ada kebolehan menggunakan istilah pajak, baik itu dalam bahasa Indonesia pajak, atau dharibah, dharaib atau dalam bahasa inggrisnya tax,” paparnya.
Kemudian dari segi hukum, menurut USAJ ada perbedaan. Pajak dalam kapitalisme diatur dengan hukum yang sifatnya sekuler yaitu yang tidak bersumber dari Islam, tidak bersumber dari wahyu, sedangkan dalam Islam pajak diatur dengan hukum-hukum syarak. “Hukum-hukum syara’ itu artinya hukum yang bersumber dari Islam yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,” terangnya.
“Jadi ini berbeda, kalau pajak yang sekarang dipungut oleh Menteri Keuangan, kementerian keuangan khususnya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sifatnya sekuler, bukan pajak syariah yang didasarkan pada prinsip-prinsip Syariah, itu tidak. karena memang negara kita adalah negara sekuler,” tegasnya.
Ia mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani bahwa boleh bagi khalifah (kepala negara) untuk mewajibkan pajak atas kaum muslimin dan boleh pula khalifah mengambil pajak itu dari mereka secara paksa. Hanya saja dia yaitu khalifah mengambil pajak dalam keadaan ini tidaklah berdasarkan perintah penguasa untuk membayar pajak, melainkan berdasarkan perintah Allah untuk membayar pajak. Penguasa hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
“Ini kutipan dari Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya muqaddimat Ad Dustur pada juz 2 halaman 117. Jadi yang menjadi fokus saya itu adalah Apakah boleh Negara Islam atau Khilafah itu memungut pajak? jawabannya boleh asalkan nanti ada ketentuan-ketentuannya supaya pajak itu ketika diwajibkan itu memiliki makna syar’i. Pajak itu wajib karena memang diwajibkan oleh Allah,” jelasnya.
Untuk membuktikan suatu pajak itu adalah syar’i, kewajiban yang aslinya datang dari Allah bukan dari penguasa, lanjutnya, itu nanti harus dibuktikan bahwa pajak itu dipungut dalam rangka melaksanakan kewajiban Syariah. “Jadi ada dalilnya di dalam Al-Qur’an ada hadis mengenai suatu kewajiban finansial yang harus dibayar,” tuturnya.
“Maka dari itu, jika terdapat suatu kewajiban syar’i (dari Allah) atas Kas Negara (Baitul Mal) dan juga atas kaum muslimin, maka kewajiban syar’i itu akan dibiayai dari harta Baitul Mal, misalnya biaya untuk kewajiban menyantuni fakir dan miskin. Jika dalam Baitul Mal tidak terdapat harta, atau terdapat harta namun tidak cukup untuk membiayai kewajiban syar’i itu, maka Khalifah boleh mewajibkan pajak atas kaum muslimin sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syarak,” jelasnya mengutip dari pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimat Al Dustur, Juz II, hlm. 117.
Jika penguasa memungut pajak untuk sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau bahkan tidak ada dalilnya dari Al -Qur`an atau Hadis, berarti penguasa itu telah mewajibkan pajak atas dasar kehendak penguasa itu sendiri, bukan atas dasar kehendak Allah.
“Pemungutan pajak seperti ini haram hukumnya dan pelakunya akan masuk neraka kelak di hari kiamat, sesuai sabda Rasulullah SAW yang artinya ‘Tidak akan masuk surga, siapa saja yang memungut cukai/pajak [yang tidak syar’i].’ (HR Ahmad & Al Hakim)” pungkasnya. [] Raras