Tinta Media - Kerusakan pemuda saat ini benar-benar sudah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan, seakan sulit sekali menemukan sosok pemuda yang tangguh dan berkualitas di era digital ini. Para pemuda lebih cenderung melakukan perbuatan yang merugikan, bahkan membahayakan orang lain.
Seperti kasus kekerasan yang baru-baru ini sangat menyita perhatian publik dan viral di media sosial. Kekerasan tersebut dilakukan oleh pemuda bernama Mario Dandy (anak dari seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo) hingga menyebabkan korban bernama David (anak dari pengurus GP Ansor) koma. (Tempo.co, 20/2/23)
Menjadi anak seorang pejabat pasti memberikan gambaran bahwa dia mendapatkan pendidikan yang layak. Sebab, seorang pejabat pasti menyekolahkan anaknya di sekolah yang mahal. Namun, faktanya pendidikan yang dianggap layak pun tak mampu mewujudkan pemuda yang berkarakter terpuji dan berkualitas.
Aksi kekerasan ini menambah daftar panjang berbagai kekerasan yang dilakukan oleh para pemuda di negeri ini. Sebut saja tawuran, penganiayaan senior pada junior, penganiayaan demi mengambil harta korban, bahkan kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa korban atau pembunuhan, baik motif asmara maupun ekonomi. Semua itu banyak dilakukan oleh pemuda yang berusia produktif, bahkan tak jarang masih di bawah umur. Pelakunya pun banyak yang masih bersekolah ataupun kuliah.
Hal di atas menunjukkan ada kesalahan pada sistem pendidikan di negeri ini. Tak heran, berbagai kebijakan seperti perbaikan kurikulum dan sebagainya diambil oleh menteri pendidikan demi memperoleh konsep pendidikan yang mumpuni. Harapannya, akan mampu mencetak generasi muda yang berkarakter dan berkualitas. Sayangnya, harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Hal ini lantaran sistem pendidikan tak bisa berdiri sendiri. Sistem pendidikan juga berkaitan dengan sistem lain, seperti ekonomi, hukum, informatika, dan pergaulan. Semua sistem tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Bagaimana sistem pendidikan mampu mencetak generasi berkualitas jika sistem informatika masih dilonggarkan dalam hal penayangan konten negatif di internet? Padahal, salah satu sumber perusak generasi adalah informasi dan tayangan negatif seperti konten porno dari internet.
Selain itu, tak akan terwujud pemuda yang berkualitas jika sistem pergaulan saat ini masih mengadopsi budaya asing yang mendewakan kebebasan. Sementara, kebebasan yang diagung-agungkan tersebut telah menembus batas norma sosial dan agama hingga menyebabkan para pemuda kebablasan dan jatuh pada pergaulan bebas.
Ditambah lagi sistem ekonomi yang tidak mampu memberikan kesejahteraan masyarakat secara merata. Tak ayal, hal ini menyebabkan sebuah keluarga tak lagi mampu harmonis karena kedua orang tua sibuk bekerja. Akhirnya, mereka menyerahkan pendidikan anak pada sekolah dan lingkungan. Padahal, sejatinya pondasi penting dalam proses pendidikan anak berasal dari keluarga.
Belum lagi tatanan masyarakat yang menunjukkan gaya hidup hedonis dan materialistik. Semua menjadi faktor yang turut merusak pola didik pada anak sehingga terwujudnya pemuda yang berkualitas seakan menjadi sebuah ilusi belaka. Selain itu, sistem hukum masih memberikan batasan usia bagi pelaku kejahatan. Sehingga, pelaku yang masuk di bawah umur akan mendapatkan keringanan hukuman dari yang semestinya atau bahkan dikembalikan pada bimbingan keluarga.
Semua ini membuktikan bahwa kerusakan pemuda tidak sekadar dari gagalnya sistem pendidikan saat ini yang lebih berorientasi pada keberhasilan materi. Namun lebih dari itu, kerusakan pemuda disebabkan oleh kegagalan seluruh sistem kehidupan yang diterapkan saat ini. Dasar kehidupan adalah memisahkan agama dari kehidupan dan bernegara (sekularisme), sehingga setiap melakukan perbuatan tak didasarkan pada aturan agama, apakah halal atau haram.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pemuda yang kuat, berkarakter, dan berkualitas, kita harus memperbaiki semua sistem yang ada dengan mencampakkan asas sekuler tersebut. Perubahan tersebut harus berlandaskan pada akidah yang darinya terpancar seperangkat aturan kehidupan. Aturan tersebut haruslah aturan dari Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur yang Maha Mengetahui, yakni aturan Islam.
Islam memiliki tiga pilar yang akan terwujud, yakni kuatnya keimanan individu, kuatnya kontrol masyarakat, dan optimalnya peran negara sebagai pengurus rakyat.
Negara yang berlandaskan aturan Islam akan mengambil kebijakan atas dasar keimanan, bukan atas dasar keuntungan materi. Negara akan mempermudah pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara akan menjaga akidah umat. Bahkan, negara tak akan sayang menutup akses internet jika diperlukan demi menjaga akidah anak bangsa. Negara juga akan memahamkan dan mendukung peran keluarga yang benar. Negara juga menerapkan hukum sesuai batas usia yang Allah tetapkan, yakni baligh sebagai batas anak sudah wajib menerima beban hukum, dsb.
Begitulah, ketika aturan Allah diterapkan, pasti akan memberikan maslahat dan rahmat. Sebab, Allah Maha Mengetahui apa yang tepat bagi makhluk-Nya. Manusia hanya berkewajiban melaksanakan apa yang telah Allah tetapkan.
Allah Swt. berfirman yang artinya:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)
Wallahu a'lam!
Oleh: Wida Nusaibah
Pemerhati Masalah Remaja