Tinta Media - Sobat. Islam secara etimologi berarti taat dan tunduk. Sedangkan menurut terminogi syarí berarti penyerahan diri kepada Allah SWT, tunduk dan taat kepada perintah-perintah-Nya. Islam juga sebuah nama untuk agama Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya, untuk menunjuki mereka jalan lurus. Islam adalah sebuah kata yang merangkum pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” ( QS. Ali Imran (3) : 19 )
Sobat. Agama yang diakui Allah hanyalah agama Islam, agama tauhid, agama yang mengesakan Allah. Dia menerangkan bahwasanya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam. Semua agama dan syariat yang dibawa nabi-nabi terdahulu intinya satu, ialah "Islam", yaitu berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, menjunjung tinggi perintah-perintah-Nya dan berendah diri kepada-Nya, walaupun syariat-syariat itu berbeda di dalam beberapa kewajiban ibadah dan lain-lain.
Muslim yang benar ialah orang yang ikhlas dalam melaksanakan segala amalnya, serta kuat imannya dan bersih dari syirik.
Allah mensyariatkan agama untuk dua macam tujuan:
1. Membersihkan jiwa manusia dan akalnya dari kepercayaan yang tidak benar.
2. Memperbaiki jiwa manusia dengan amal perbuatan yang baik dan memurnikan keikhlasan kepada Allah.
Kemudian Allah menggambarkan perselisihan para Ahli Kitab tentang agama yang sebenarnya. Sebenarnya mereka tidaklah keluar dari agama Islam, agama tauhid yang dibawa oleh para nabi, seandainya pemimpin-pemimpin mereka tidak berbuat aniaya dan melampaui batas sehingga mereka berpecah belah menjadi sekian sekte serta membunuh nabi-nabi. Perpecahan dan peperangan di antara mereka tidak patut terjadi karena mereka adalah satu agama. Tetapi karena kedengkian di antara pemimpin-pemimpin mereka, dan dukungan mereka terhadap satu mazhab untuk mengalahkan mazhab yang lain, timbullah perpecahan itu. Perpecahan itu bertambah sengit setelah pemimpin-pemimpin itu menyesatkan lawannya dengan jalan menafsirkan nas-nas agama menurut hawa nafsu mereka.
Di akhir ayat ini, dikemukakan peringatan kepada orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dengan menandaskan hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka.
Allah SWT Berfirman :
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” ( QS. Ali Imran (3) : 83 )
Sobat. Allah tidak membenarkan sikap Ahli Kitab, bahkan mencelanya karena mereka itu menyeleweng dari kebenaran, setelah kebenaran itu tampak jelas bagi mereka dan mereka tidak mau memeluk agama Islam yang datang dari Allah. Allah swt menegur mereka mengapa mereka berbuat demikian, padahal semua langit dan bumi tunduk kepada Allah secara sukarela dan takluk kepada ketentuan-Nya.
Secara ringkas dapat diterangkan bahwa orang Yahudi itu tidak percaya kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad saw, padahal nabi-nabi mereka mempercayai Nabi Muhammad saw, yang akan datang kemudian. Dengan tidak percaya kepada Nabi Muhammad berarti mereka tidak percaya kepada nabi-nabi mereka sendiri; dan berarti mereka mencari agama selain Islam. Sikap mereka itu dicela oleh Allah karena apa saja yang ada di langit dan di bumi ini semuanya tunduk dan patuh kepada Allah mengapa mereka tidak berbuat demikian?
Kemudian Allah menjelaskan bahwa kepada Allah kembali semua makhluk, baik orang Yahudi, orang Nasrani, maupun umat-umat selain mereka. Pada saat itulah mereka akan diberi balasan, sesuai dengan perbuatan mereka di dunia.
Di dalam ayat ini terdapat ancaman keras bagi orang-orang Ahli Kitab baik orang Yahudi maupun orang Nasrani, karena mereka telah menyeleweng dari kebenaran, serta tidak mau mengakui kenabian Muhammad saw.
Sobat. Diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًاۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” ( QS. Ar-Rum (30) : 30 )
Sobat. Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah", terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" diartikan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-dzariyat/51: 56)
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. "Wajah" atau "muka" dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah ayat ini yang artinya: ¦ fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah."
Dalam riwayat lain, "Sehingga kamu merusaknya (binatang itu)." Para sahabat bertanya, "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?" Rasul menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. "(Riwayat Ahmad dari hammad)
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui," yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, "Maka Rasulullah ditanya, 'Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, 'Dan anak-anak musyrik." (Riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)
Sebagian ulama lain mengartikan "fithrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya." Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa "fithrah" itu berarti "kejadian" dan "fathir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:
Katakanlah, "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi." (az-Zumar/39: 46)
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22)
Dia (Ibrahim) menjawab, "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya." (al-Anbiya'/21: 56)
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. 'Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, "Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan." Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan "itulah agama yang lurus", menurut Ibnu 'Abbas, bermakna "itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.
Sobat. Umar bin Khaththab ra berkata, “ Kami dulu hina dina, kemudian Islam menjadikan kami terhormat. Kalau kita mencari kehormatan dengan selain Islam maka Allah akan menjadikan kita hina dina.”
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana Universitas Islam Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur