HSH DAN UU "POWER WHEELING" ITU UNTUK MENAIKKAN TARIP LISTRIK! - Tinta Media

Jumat, 10 Maret 2023

HSH DAN UU "POWER WHEELING" ITU UNTUK MENAIKKAN TARIP LISTRIK!

Tinta Media - Sudah menjadi rahasia umum saat ini, khususnya di Jawa-Bali , yang sehari harinya membutuhkan Strom 30.000 MW , maka 90% atau sekitar 27.000 MW dipasok dari pembangkit listrik swasta atau IPP ("Independent Power Producer") milik Aseng/Asing yg tentunya di fasilitasi oleh para "Oligarkhi Peng Peng" ataupun keluarganya semacam Luhut BP, JK, Dahlan Iskan, Erick Tohir dst.

Sehingga sekitar 28.100 MW asset pembangkit PLN serta Anak2 Perusahaan IP dan PJB  Jawa-Bali mangkrak.

Tegasnya saat ini pembangkit PLN Jawa-Bali yang bekerja hanya PLTA seperti Saguling, Cirata, Mrica guna menjaga "peak load" dan PLTGU Cilegon, Muara Tawar dll guna menjaga "stabilitas frekuensi" stroom, agar tidak "kedip kedip" (seminar Serikat Anak Perusahaan PLN , 22 Juli 2020) yang semuanya tidak lebih dari 3.000 MW, dan indikasinya saat ini sudah di ambil alih semua oleh IPP.

Untuk itu tidak mengherankan  ketika Sidang MK 2010, Dahlan Iskan bersaksi didepan MK dengan berkata, "Saya sebagai DIRUT PLN untuk mengelola PLN ini tidak memerlukan Undang Undang !" Sehingga pantas pula bila mulai 2010 semua ritail PLN dijual ke Taipan 9 Naga, dalam bentuk "Whole sale Market" seperti SCBD Soedirman, Meikarta, Central Park, PIK ke Taipan 9 Naga seperti Tommy Winata, James Riady, Aguan . Dan Ritail recehan DI dan para Taipan itu mendirikan pabrik Token yang "voucher" nya bisa dijual di Alfamart serta gerai2 yang lain.

Akibat lebih lanjut yang dialami System Ketenagalistrikan Jawa-Bali mulai 2010 adalah terjadinya kompetisi penuh atau "Multy Buyer and Multy Seller" (MBMS) System karena PLN hanya bermodal asset jaringan Transmisi dan Distribusi atau hanya menjadi "kuli panggul" stroom dari pembangkit ke konsumen (ritail).

Kondisi diatas itulah yang disebut sebagai Liberalisasi kelistrikan, karena instalasi pembangkit langsung bisa berjual-beli listrik dengan ritail (konsumen) besar tanpa lewat PLN, dengan mekanisme "Power Wheeling System" (PWS). 

Sehingga "euforia" liberal diatas mengakibatkan tarip listrik secara keseluruhan tidak dapat dikendalikan PLN (Negara), dan berakibat "melejit" nya tarip listrik secara System. Sehingga Kartel Listrik Swasta (Liswas) dapat memaksa "menodong" sejumlah biaya operasi kelistrikan yang besar lewat PLN. Dan mau tidak mau Negara/Pemerintah harus "menutup" subsidi akibat MBMS ini mulai 2010 sebesar Rp 100,2T (padahal subsidi listrik tahun 2009 dan sebelumnya rata2 hanya Rp 50T). Dan lebih parah lagi subsidi akibat MBMS pada 2020 sudah sebesar Rp 200,8T (Repelita Online 8 Nopember 2020) begitu juga untuk 2021. Sedang subsidi listrik 2022 diumumkan secara langsung  oleh Menkeu SMI turun menjadi Rp 133,33T (tapi tarip listrik 2022 naik sekitar 15 %). 

Ditengarai naiknya angka subsidi listrik juga dikarenakan  terjadinya "over supply" yang rata-rata 25% akibat Mega Proyek 35.000 MW, yang berakibat PLN harus membayar TOP (Take Or Pay) sebesar Rp 122,8T pertahun (CNBC Indonesia, 30 September 2022).

PEMERINTAH SUDAH TIDAK TAHAN LAGI MEMBIAYAI MBMS LISTRIK.

Kejadian diatas sudah di Analisa dan diprediksi dalam Sidang MK tahun 2004, yaitu manakala PLN sudah dijual/privatisasi sesuai UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan (seperti sekarang ini kondisinya), maka akan terjadi kondisi listrik yang liberal dan tarip akan melejit tidak terkendali. Dan saat ini tarip listrik itu sebenarnya sudah "melejit" tetapi ditutup tutupi oleh Pemerintah dengan subsidi MBMS antara Rp133,33T - Rp200,8T dengan hutang LN ! Sehingga terkesan seolah olah PLN baik baik saja !

MENGAPA ADA HSH DAN PWS?

Ditengarai saat ini Pemerintah/Negara sudah tidak kuat lagi menanggung terjadinya liberalisasi listrik/MBMS (yg sebenarnya didorong juga oleh para pejabat diatas, karena mereka ikut bisnis listrik  juga untuk keuntungan pribadi). 

Untuk itu pada 2022 dibuatlah program HSH (Holding - Subholding) yang sesuai konsep aslinya yaitu PSRP ("The Power Sector Restructuring Program") dimaksudkan agar PLN Holding tidak terlibat lagi dalam urusan operasional PLN Jawa-Bali sehingga PLN dikawasan ini bisa di IPO kan. Dan setelah adanya UU PWS, PLN Jawa-Bali dibubarkan, dan PLN P2B (Cinere) dijadikan Lembaga Independent yg menjalankan PWS dalam posisi sebagai :

- Pengatur System.
- Pengatur Pasar.

KESIMPULAN :

Tegasnya setelah selesainya Program HSH dan adanya UU PWS , maka Pemerintah akan mencabut Subsidi Kelistrikan MBMS yang sudah ratusan triliun diatas dan akan dibebankan langsung ke konsumen/rakyat dalam bentuk kenaikan tarip listrik (dulu disebut kenaikan TDL) sekitar 5x lipat ! Artinya kalau kita bayar listrik saat ini hanya Rp 500 ribu, maka nantinya akan menjadi Rp 2,5 juta (tunggulah saat liberalisasi/MBMS diresmikan dengan UU).

Dan semuanya akan ditagih langsung oleh Kartel Liswas lewat System "Outsourcing". Karena PLN Jawa-Bali akan dibubarkan, dan PLN Luar Jawa-Bali akan diserahkan ke PEMDA ( sesuai "grand design" PSRP).

SUPER KESIMPULAN :

Makanya jangan heran kalau :

1. Menteri BUMN dan DIRUT PLN "teriak teriak" bahwa HSH bukan untuk tujuan Liberalisasi kelistrikan.

2. Terjadi "penyelundupan" UU PWS lewat Pembahasan RUU EBT (Energi Baru dan Terbarukan). Tetapi kemudian "kepergok" oleh Anggota DPR RI Komisi VII/Fraksi PKS  DR. Mulyanto Manan.

KITA HARUS BANGKIT MELAWAN PARA "PENG PENG" DIATAS !

ALLOHUAKBAR !!
MERDEKA !!

JAKARTA, 5 MARET 2023.

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :