Tinta Media - Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan demi mencegah ancaman krisis pangan yang berkepanjangan akibat perang Rusia - Ukraina yang tak kunjung selesai.
Strategis Nasional 2020 - 2024 yang dilaksanakan di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah setelah berjalan dua tahun hasilnya gagal. Pasalnya, perkebunan singkong seluas 600 hektar mangkrak dan 17.000 hektar sawah tidak kunjung panen.
Salah seorang warga yang terdampak program Food Estate berasal dari Desa Tawai Baru mengungkapkan kekesalannya karena telah kehilangan mata pencaharian menjadi buruh karet yang kini telah dimusnahkan demi program tersebut.
Fakta di Lapangan
Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Susilawati, mengakui bahwa tidak mudah mengelola lahan food estate. Ini karena di Kalimantan Tengah wilayahnya merupakan lahan rawa sehingga pengolahan lahan Food Estate akan memakan waktu dan biaya yang besar. Ia juga mengatakan bahwa jenis tanah di kawasan ini 70 persen adalah pasir, dan jenis tanah ini tidak cocok untuk menanam singkong, yang membutuhkan tanah yang gembur.
Pihak Kementerian Pertanian yang sudah mengetahui kekurangan dalam pelaksaan program Food Estate mengatakan hal ini tidak sepenuhnya gagal. Sementara Pejabat Kementerian Pertahanan mengklaim mangkraknya kebun singkong karena kekurangan anggaran dalam regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.
Kegagalan Kapitalis
Setelah dua tahun berjalan, ternyata program Food Estate hanya menimbulkan masalah. Mangkraknya kebun singkong seluas 600 hektar mengindikasikan adanya kesalahan sejak awal program. Secara logika, jika ingin mendapatkan hasil maksimal, seharusnya kita mempelajari kawasannya dahulu serta mengetahui tanaman apa yang cocok untuk ditanam di lahan tersebut. Tentu saja lahan yang digunakan itu harus memiliki unsur hara yang banyak dan subur, supaya para petani lebih mudah mengelolanya dan tidak memerlukan biaya yang banyak.
Hasil program Food Estate selama dua tahun ini dapat menjadi bukti nyata kegagalan penguasa kapitalisme dalam mewujudkan ketahanan pangan. Karena itu, harus diluruskan kembali bahwa tujuan program Food Estate adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Realitasnya, kepengurusan berbagai kawasan Food Estate justru diambil alih dari Kementerian Pertahanan ke Kemenkomarves. Jelas ini mengisyaratkan bahwa program Food Estate bukan ditujukan agar rakyat tidak kelaparan, tetapi mengatasnamakan rakyat demi investasi.
Menjadi jelas, kebijakan Food Estate menunjukkan bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan penyedia lapangan kerja bagi rakyat. Intinya, negara hanya berpihak pada para pemilik modal, dengan membiarkan lahan subur dibangun gedung-gedung. Beralihfungsinya lahan pertanian menjadi perumahan atau pabrik menunjukkan bahwa kebijakan ini jelas tidak memihak pada kepentingan rakyat.
Islam Menyelesaikan Masalah
Kegagalan yang dihasilkan akibat kebijakan yang asal-asalan dan terkesan berpihak pada rakyat menunjukkan adanya ketidakberesan sejak perencanaannya, bahkan saat digagas. Inilah wujud kebobrokan sistem kapitalisme.
Berbeda dengan Islam, setiap program dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam Islam, kasus seperti ini tidak perlu terjadi. Setiap perencanaan harus dipelajari dengan matang dan menempatkan lahan sesuai dengan fungsinya karena mengubah fungsi hanya akan menimbulkan kerusakan. Lahan subur akan dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, dan lahan yang tidak subur akan ditempatkan untuk perumahan maupun pabrik. Di samping itu, setiap program yang dijalankan adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat karena penguasa bertanggung jawab dalam pemenuhan ini. Negara tidak membiarkan pemanfaatan lahan subur dikuasai swasta. Negara juga akan mengadakan alat-alat pertanian sehingga tidak tergantung pada asing. Anggaran yang digunakan untuk program tersebut diambil dari kas Baitul Mal.
Kesimpulan
Dengan menjalankan Islam secara kaffah, program Food Estate untuk rakyat akan memenuhi harapan. Solusi ini bisa diterapkan hanya dalam sistem Islam.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Astuti K
Sahabat Tinta Media