Tinta Media - Mau viral, tetapi malah nyawa melayang, berita seperti ini kerap kali muncul dan membuat kita prihatin sekaligus sedih. Kenapa eksistensi begitu dipuja hingga konten yang disajikan harus berisiko tinggi, bahkan mengancam keselamatan jiwa?
Diduga hendak membuat konten gantung diri, seorang wanita muda berinisial W, 20 tahun, meninggal dunia dalam kondisi leher tergantung tali kain di rumah kontrakannya di Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (1/3/2023) pukul 21.30 WIB. Nahas, ia meninggal setelah terpeleset kursi yang menjadi tumpuan kaki. Hal itu diketahui karena sebelum terjatuh, ia melakukan panggilan telepon pada temannya. Solopos. Com (4/3/2023).
Eksistensi hari ini dianggap seperti kebutuhan pokok. Semua aktivitas sering kali di-upload ke media sosial. Mendapat like, komentar, hingga follower adalah sesuatu yang diburu, terlebih jika bisa mendatangkan cuan. Ini adalah keinginan terbesar. Banyaknya konten artis atau orang kaya dengan fasilitas mewah kemungkinan besar menginspirasi untuk hidup enak tanpa kerja keras.
Fenomena tersebut muncul akibat sistem kehidupan yang serba bebas, berkedok hak asasi melakukan aksi sesuai keinginan hati. Pemahaman yang dilandaskan pada pemisahan agama dengan kehidupan, membuat manusia terjerumus pada martabat yang merendahkan diri. Bisa dikatakan, hal ini terjadi pada masyarakat yang mengalami krisis jati diri, mudah terombang-ambing arus perubahan lingkungan.
Sejatinya, manusia adalah makhluk istimewa dibanding makhluk lain. Anugerah akal seharusnya dibuat untuk menimbang dan berpikir, apakah yang dilakukan bisa menghantarkan pada kebaikan atau sebaliknya. Konten mandi lumpur demi mendapatkan uang, pura-pura bunuh diri, prank merampok, prank tebar uang, dan konten konyol lain tak seharusnya terjadi pada makhluk mulia ini.
Allah ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Israa’ : 70).
Namun, manusia yang lemah dan terbatas jangkauannya harus dijaga agar mereka kembali pada posisi awal, yaitu mulia.
Negaralah yang efektif dalam menjaga dan memotivsi agar manusia tetap dalam kondisi sesuai fitrahnya.
Maka, negara harus membuat berbagai kebijakan agar masyarakat tidak terjerumus pada aksi merendahkan diri.
Pertama, melarang konten media yang menjerumuskan diri dan mengispirasi orang lain melakukannya, sebagaimana konten bunuh diri dan sebagainya.
Kedua, mendidik masyarakat dengan pemahaman yang benar tentang tujuan hidup, bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Semua aktivitas, baik yang terkait aktivitas pribadi maupun hubungan dengan orang lain bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena lillah dan aktivitasnya benar sesuai syariat. Amal ibadah inilah yang kelak akan mendapatkan balasan surga, yaitu kenikmatan abadi.
Ketiga, membudayakan amar ma’ruf nahi munkar. Hal tersebut bisa menjadi rem agar manusia tidak melakukan tindakan konyol. Namun, jika masyarakat cuek, maka banyak manusia yang merasa tindakannya baik-baik saja, padahal membahayakan.
Keempat, ada sanksi bagi yang melanggar aturan. Sanksi tegas harus diberlakukan pada siapa saja, dengan sifatnya yang membuat jera pelaku dan yang lain takut menirunya. Bahkan, sanksi yang sudah diterapkan akan menggugurkan azab pedih di akhirat. Namun, dalam sistem kapitalisme saat ini, hukum diberlakukan tegas hanya pada masyarakat bawah, sedang bagi kalangan pejabat atau yang berduit, hukum tak ada nyali.
Tidak diragukan lagi bahwa sistem yang diberlakukan hari ini justru memberikan peluang bagi manusia bermartabat rendah. Sebaliknya, dengan berpegang teguh pada syariat, manusia mulia dan dimuliakan.
Allahu a’lam
Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media