Tinta Media - Saat ini, eksistensi dianggap sesuatu yang mutlak dibutuhkan, demi pengakuan lingkungan terhadap keberadaan diri. Bahkan, semua konsep yang ditetapkan tak memperhatikan keselamatan nyawa diri sendiri. Memprihatinkan!
Peristiwa demi peristiwa pun nyata terjadi di sekitar kita. Salah satunya kejadian di Bogor. Seorang perempuan di Leuwiliang, Bogor, ditemukan tewas terlilit kain. Korban berusia 21 tahun tersebut tewas saat membuat konten candaan gantung diri bersama teman-temannya melalui video call (CNNIndonesia.com, 3/3/2023). Teman-teman korban langsung mendatangi tempat tinggal sang korban. Namun, malang, nyawa korban tak terselamatkan karena kebetulan, saat itu korban tengah sendirian di rumah dan tak menyangka kedapatan musibah senahas itu. Miris!
Segala macam kemajuan teknologi telah membuka jalan lebar bagi generasi untuk menunjukkan jati diri, demi dibilang hebat oleh teman sejawat. Namun, siapa nyana, jika berakhir dengan keadaan gawat? Konten yang dibuat pun, kebanyakan konten unfaedah. Ini demi eksistensi diri, demi mendapatkan banyak "like" ataupun "viewers", tanpa memperhatikan bahaya atau tidaknya konten tersebut.
Flexing, istilah yang sering dikaitkan dengan wujud eksistensi diri, kebiasaan memamerkan segala yang dimiliki seseorang agar mendapatkan pengakuan publik, tak peduli banyaknya modal yang dibutuhkan. Mereka pamer kekuasaan, pamer kekayaan, dan beragam barang mewah. Hal ini pun dianggap biasa dalam sistem kehidupan masa kini. Inilah pemahaman yang merusak generasi saat ini.
Bergesernya pemahaman generasi menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan. Pergeseran pemahaman tersebut sebagai hasil dari sistem sekuler kapitalistik yang kini ramai diadopsi generasi muda. Mereka menganggap, dengan adanya eksistensi, label "popular" mudah diraih. Ini demi meraih materi berlimpah agar hidup bahagia tanpa mempertimbangkan standar benar salahnya perbuatan.
Inilah wujud rendahnya taraf berpikir generasi. Segalanya diukur hanya berdasarkan kesenangan dan berlimpahnya materi saja. Sangatlah tampak, sistem sekuler kapitalistik ini pun menjadikan tujuan hidup bias dan tak jelas.
Banyaknya kejadian serupa menandakan bahwa negara abai terhadap keselamatan generasi. Seharusnya negara memberikan penjagaan dengan regulasi yang tegas untuk mengendalikan banjirnya sosial media yang buruk di tengah kehidupan bermasyarakat. Seperti pemblokiran akun-akun nirmanfaat atau memblokir konten unfaedah di tengah masyarakat.
Namun, hal ini mustahil dilakukan dalam lingkaran sistem kapitalisme yang batil. Ini karena sistem lapitalisme menjadikan banjir media sosial sebagai ladang bisnis menggiurkan yang dapat meraup keuntungan luar biasa besar. Mereka tak peduli akibat dari bahaya yang mengancam masa depan dan pemahaman generasi.
Berbeda dengan paradigma Islam. Syariat Islam sangat menjaga masa depan generasi. Ini karena dari kekuatan generasilah ujung tombak perubahan dapat diraih. Islam mengedukasi secara sempurna dengan landasan iman dan takwa hanya kepada Allah Swt. Generasi pun fokus pada tujuan utama kehidupan, yaitu meraih rida Allah Swt. yang tertinggi. Alhasil, generasi dapat fokus memosisikan diri sebagai "agent of change", serta meninggalkan segala sesuatu atau tindakan yang melanggar syariat.
Selain itu, negara pun tegas dalam menerapkan regulasi demi penjagaan kemuliaan generasi, untuk menjaga nyawa setiap generasi. Semua konsep ini hanya dapat sempurna terwujud dalam sistem Islam dalam wadah institusi yang menjaga keamanan, kehormatan, dan nyawa setiap rakyat yaitu, Khilafah Islamiyyah. Ini sesuai teladan Rasulullah saw. Institusi inilah satu-satunya yang menjamin kehidupan setiap individu.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor