Tinta Media - Proyek kereta api cepat kembali menjadi sorotan. Hal ini disebabkan kerena permasalahan pembengkakan biaya yang telah berulang kali terjadi. Pasalnya, PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) berencana akan meminjam dana berkisar Rp8,3 Trilliun ke China Development Bank (voaindonesia.com,17/2/2023).
Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo mendukung langkah pengajuan dengan alasan moda transportasi massal seperti MRT, LRT, kereta api dan kereta api cepat merupakan keharusan bagi kota-kota besar demi terselenggaranya moda transportasi terintegrasi. Ini dilakukan agar setiap orang tidak hanya cenderung pada mobil pribadi.
Wakil Menteri BUMN Arya Sulingga mengatakan bahwa Indonesia menanggung 60% dan China 40%. Pembengkakan biaya ini terjadi karena perencanaan yang buruk. Perpanjangan KCJB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung) atas dasar kesepakatan China juga perusahaan pelat merah Indonesia, yang pada awalnya tidak akan menggunakan dana APBN, nyatanya tetap menggunakan dana APBN untuk mengatasi pembengkakan dana pembangunan, kekurangan ekuitasi, defisit kas. Sampai akhirnya, pemerintah memenuhi layanan transportasi publik dengan menggelontorkan dana sebesar Rp3,2 Triliun.
Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) merupakan bukti kegagalan dalam suatu pembangunan yang direncanakan atas dasar skema bisnis dengan mendatangkan investor asing. Dari sini jelas bahwa program berkelanjutan ini dilakukan demi proyek yang sebenarnya tidak untuk kepentingan atau kebutuhan rakyat, tetapi justru untuk korporasi.
Pembangunan infrastruktur seperti KCJB bukan suatu yang urgent. Mengandalkan investor akan membuat negara semakin masuk dalam cengkeraman asing. Hal ini bisa mengancam kedaulatan negara. Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme, yang sejatinya lebih mengutamakan kepentingan atau keuntungan para kapitalis. Rakyat pun tidak mendapatkan kemaslahatan dari proyek kereta cepat, malah terancam tambahan biaya dan utang yang dilakukan negara.
Ini berbeda dengan Islam. Sistem Islam (khilafah) akan mengutamakan segala hal yang lebih dibutuhkan masyarakat, mulai dari pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, barulah kemudian membuat kebijakan pembangunan infrastruktur.
Khilafah membangun infrastruktur dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, infrastruktur dibangun untuk kepentingan rakyat.
Kedua, pembangunan infrastruktur adalah bagian dari pelaksanaan syariat kaffah agar terwujud nilai ruhiyah, insaniyah, dan khuluqiyah.
Ketiga, negara bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembiayaan.
Keempat, perencanaan dilakukan dengan matang.
Kelima, fungsi pembangunan untuk melayani kepentingan publik dan mempermudah mereka.
Seperti pembiayaan infrastruktur yang ditulis oleh Syaikh Abd Al Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal Daulah Al Khilafah, dijelaskan bahwasanya pendapatan khilafah bisa diambil dari pos kepemilikan negara, di antaranya dari kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul. Sedangkan pos kepemilikan umum di Baitul Mal berasal dari pengelolaan SDA, sehingga rakyat menikmati dengan harga terjangkau, bahkan gratis.
Adapun dalam pengadaannya, Syaikh Abdurrahman Al Malik dalam kitab Assiyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla menyebutkan najwa ada dua jenis pembangunan infrastruktur.
Yang pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan rakyat. Jika negara menundanya, akan menimbulkan bahaya bagi rakyat.
Kedua, infrastruktur yang tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda.
Jika umat masih dalam kepemimpinan sistem kapitalisme, pembangunan infrastruktur terus berorientasi pada kapital. Maka, sangat jelas kapitalisme tidak bisa dibandingkan dengan sistem Islam yang memiliki visi besar untuk mengurus urusan umat.
Dengan demikian, perlu perubahan sistem baru, yaitu sistem Islam dalam naungan khilafah. Hanya dengan khilafahlah masyarakat akan terurus dengan baik, kemudian negara pun menjamin kesejahteraan umat. Sudah saatnya umat menyadari kegagalan pemerintahan sekuler kapitalistik dengan bersegera memperjuangkan Islam kaffah agar mendapat kehidupan yang sejahtera.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Avin
Muslimah Jember