Benarkah Piagam PBB Sebagai Sumber Fikih Baru? - Tinta Media

Sabtu, 18 Maret 2023

Benarkah Piagam PBB Sebagai Sumber Fikih Baru?

Tinta Media - “Suatu pendapat tidaklah menjadi keharusan dalam setiap-tiap kasus kecuali berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, dan apa saja selain keduanya harus mengikuti keduanya.” 

Begitulah pernyataan Imam Syafi’i radhiyallahu bahwa sumber hukum Islam harus bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Quran dan juga As Sunnah.  

Masih terngiang di telinga bahwa ada ormas Islam di negeri ini yang menyatakan bahwa piagam PBB bisa dijadikan sumber hukum bagi umat Islam. Dilansir dari nu online, 6/2/2023, ketua umum PBNU, Yahya Cholil Staquf menyampaikan Piagam PBB dapat menjadi sumber hukum yang mengikat bagi penduduk, bangsa dan negara, termasuk muslim. Piagam PBB bisa menjadi dasar yang paling kokoh dalam mengembangkan fikih baru.

Sama halnya dengan pendapat Wakil Rais Aam PBNU K.H Afiduddin Muhajir. Beliau menegaskan bahwa Piagam PBB mempunyai legalitas syar'i. Dalam sumber hukum Islam ada kewajiban untuk menghormati dan menaati perjanjian yang tidak melanggar syariat.

Tentunya, sebagai umat Islam, kita harus melihat kembali sejarah tentang asal-usul PBB, jangan sekadar menyerap informasi tanpa menyaring dan menelaahnya. Hal ini karena ketika salah dalam berpikir, maka berimbas pada pola sikap kita, bahkan bisa menggadaikan keimanan kita. Layakkah fikih klasik kita tinggalkan dan menjadikan piagam PBB dan PBB sebagai sumber hukum?

Sejarah PBB 

Pada abad 15, Kekhilafahan Ustmaniyah menaklukan beberapa kerajaan Eropa yang ada di Yunani, Rumania, Hungaria, Yugoslavia, dan Albania. Pembebasan itu terhenti pada 1529 ketika akan memasuki Wina, Austria. Peristiwa inilah yang mendorong terbentuknya perjanjian Westpalia. Waktu itu, kerajaan-kerajaan Eropa (pecahan dari imperium Romawi) menyelenggarakan konferensi Westpalia yang di dalamnya menetapkan aturan untuk mengatur hubungan antar kerajaan Eropa, serta mengorganisasikan kekuatan mereka melawan negara Islam, yaitu Kekhilafahan Ustmani.

Awalnya, Westpalia hanya beranggotakan kerajaan Kristen di Eropa. Namun, selanjutnya negara non-Eropa turut bergabung. Sayangnya, Khilafah Utsmaniah yang kala itu mengalami kemunduran ikut bergabung ke dalam aliansi tersebut, dengan syarat harus mematuhi perjanjian yang merugikan Islam.  

Di awal abad 20, aliansi bertransformasi menjadi Liga Bangsa-bangsa. Organisasi ini bertujuan menghentikan Perang Dunia pertama (1914-1918) yang terjadi antara blok Inggris melawan blok Jerman. Namun, Perang Dunia kedua tahun 1939-1945 kembali bergolak yang menyebabkan kerugian bagi banyak negara, baik penjajah maupun yang dijajah.

Tercetuslah gagasan dari Inggris dan Amerika, sebagai negara adidaya. Bagaimana mengakhiri perang, tetapi tetap melanggengkan kepentingan duniawi mereka? Maka, lahirlah PBB yang melanjutkan misi LBB di tahun 1945.  

Dari sini kita melihat bahwa PBB adalah sebuah cita-cita dari Westpalia. Konferensi Westpalia merupakan dasar bagi hubungan international modern yang diadopsi dan terus dikembangkan sehingga menjadi Piagam PBB. Inilah sejarah PBB yang secara historis tidak bisa dipisahkan dari permusuhan negara-negara Eropa terhadap Islam. Jadi, kita harus mencermati berbagai peristiwa politik dunia sebelum tanggal resmi berdirinya PBB 24 Oktober 1945. 

Setelah PBB dibentuk, dibuat konvensi dan deklarasi universal yang wajib diadopsi negara anggotanya. Deklarasi tersebut menjadi infiltrasi Barat secara legal ke populasi muslim.

Ada deklarasi HAM tahun 1948. CEDAW atau ICEDAW untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan tahun 1979. Kemudian Convention On The Rights of The Child atau Konvensi Hak Anak tahun 1989. Pernyataan WHO, bagian dari PBB, di tahun 2019 membuat pernyataan bahwa L6BT bukan penyakit mental.

Lahir kebijakan derivatifnya di negara-negara anggotanya. Gaya hidup liberal sah atas nama HAM. Perempuan didorong memperjuangkan kesetaraan untuk berperan terjun ke politik dan ekonomi. Kepemilikan individu bebas tanpa batas sehingga bisa menguasai hajat hidup orang banyak. Hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan kesepakatan. Nikah beda agama dimassifkan. Bahkan, makin jelas adanya upaya normalisasi kaum L6BT.

Sejak Indonesia bergabung pada 28 September 1950, secara pelan tetapi pasti, fikih Islam klasik diganti oleh fikih baru, dengan format Barat mengarah pada normalisasi kehidupan sekuler liberal yang berseberangan dengan ajaran Islam.

Di sinilah momentum awal penjajahan gaya baru atau neoimperialisne. Negeri-negeri muslim tetap menggiurkan karena kekayaan alam dan potensi pasarnya. Barat tidak akan membiarkan lepas dari hegemoninya. Penjajah melakukan pendekatan soft power yang tersamarkan.

PBB Gagal Menjalankan Fungsinya Menjaga Perdamaian dunia.

Dilihat dari sejarah dan fakta, PBB pasti selalu berpihak pada negara-negara pendirinya, terutama Amerika. Negara penyumbang terbesar PBB, markasnya juga ada disana. Tentunya sulit untuk menjadi netral. Selain itu, penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan telah digunakan tanpa batas. Konsepsi hak veto menempatkan negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB memiliki kedudukan serta kedaulatan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya. Jadi, prinsip asas persamaan kedaulatan hanya merupakan janji kosong belaka.

Kezaliman kerap terjadi di negeri-negeri muslim dan dibiarkan. Pembataian kaum muslimin terjadi di Serbia, Bosnia, Suriah, dan Palestina. Amerika menggunakan 44 kali hak veto, khusus untuk membela Israel terkait pendudukannya di Palestina. Tentunya PBB sebagai penjaga perdamaian dunia turut andil dalam berbagai konflik dunia.

Secara empiris PBB terbukti gagal membawa misinya untuk membuat dan mengambil tindakan yang dapat mengancam perdamaian dunia. Buktinya, PBB tidak mampu menghentikan serangan agresi Amerika ke Afghanistan dan Irak. PBB tidak mampu menghentikan perang di Suriah, perang Rusia-Ukraina. Yang paling menonjol dalam pandangan umat Islam adalah sikap PBB yang lemah terhadap Israel. 

Lalu secara politis, PBB tidak bersikap adil membela negeri-negeri muslim. PBB hanya alat bagi negara-negara Barat, terutama Amerika untuk membela kepentingan mereka dan menghancurkan Islam. Terbukti saat kaum muslimin yang menjadi korban, seperti muslim Uighur di China, muslim Rohingya di Myanmar, muslim Kashmir di India, PBB diam seribu bahasa dan tidak melakukan pembelaan sama sekali.

Optimisme Perjuangan Umat Islam.

Bukti keterpurukan dan kebobrokan peradaban saat ini nampak jelas. Di negara pengusung HAM, banyak terjadi pelanggaran. Berbagai gejolak politik massif terjadi di berbagai dunia. Para pengamat menilai bahwa kapitalisme di ambang kehancuran. Hal ini terlihat dari kemerosotan ekonomi, sosial, dan politik di Eropa dan Amerika. 

Realita global, di semua negara yang menerapkan kapitalisme telah tercipta kemiskinan, ketidakadilan hukum dan kesenjangan sosial yang sangat lebar.

Disisi lain, rezim lokal, yaitu para penguasa boneka di negeri-negeri Islam semakin tidak dipercaya oleh warganya. Pasalnya, mereka terbukti represif, bahkan menjadi perpanjangan tangan para penjajah. Kasus genosida terhadap muslim Uyghur, misalnya. Para penguasa muslim hanya diam dan tidak berani untuk menghentikannya. Dengan alasan akan mengganggu hubungan ekonomi dengan China.

Masihkah kita percaya pada peradaban yang terbukti secara konsep dan empiris tidak bisa membawa pada kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat?

Apa yang terjadi dalam harlah satu abad NU mencerminkan satu sikap phobia akut pada sistem peradaban hari ini. Oleh karena, itu wajib bagi kita untuk tetap lantang berdakwah Islam politik sesuai metode Rasulullah saw., yaitu dakwah yang bersifat asasiyah dan siyasiyah, membongkar upaya politik adu domba negara Barat dengan berbagai strateginya. Kita harus terus membangun kesadaran politik Islam, bahwa perjuangan penegakan Islam kaffah adalah aspirasi yang syar’i dan sah. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pegiat Dakwah
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :