Tinta Media - Menanggapi vonis mati terhadap Ferdy Sambo, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. merasa masih pesimis.
“Jadi saya sebenarnya masih sangat pesimis atau belum terlalu berharap terhadap vonis mati Sambo,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (15/2/2023).
Ia berpendapat bahwa vonis ⅞ Ferdy Sambo, tentu saja memberikan rasa keadilan bagi pihak keluarga korban serta bagi kalangan masyarakat yang berkeinginan agar pelaku pembunuh Brigadir J. “Masalahnya vonis ini kan belum langsung dieksekusi, masih ada jalan Panjang yang harus dilalui. Dipastikan Sambo akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi malah sampai ke Mahkamah Agung, kalau terdakwa Sambo tidak puas atas putusan hakim sebelumnya,” ucapnya.
Menurut Sjaiful, jalannya masih panjang. “Apalagi kalau nanti ada permainan kasus Sambo, di pengadilan tingkat di atasnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yang barangkali untuk melindungi kepentingan elit tertentu yang sedikit banyak terkait dengan geng Sambo,” paparnya.
Yang lebih runyam lagi, menurut Sjaiful, kalau nanti hakim lebih tinggi diatasnya, berpedoman pada KUHP baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang diberlakukan pada 1 Januari 2027. Jadi kalau kasus ini dibiarkan berlarut-larut oleh Hakim Tinggi dan Mahkamah Agung, sampai 2027, maka pedomannya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Disitu disebutkan bagi pelaku pembunuhan yang kena sanksi pidana mati. Maka sanksinya tidak langsung diberlakukan nanti setelah 10 tahun kemudian, itu pun kalau pelakunya berkelakuan baik maka bisa saja sanksi pidana mati dihapuskan dengan sendiri. “Juga kalau toh, Sambo harus menunggu 10 tahun untuk ditembak mati, maka masih ada peluang Sambo meminta pengampunan kepada presiden yaitu grasi,” tuturnya.
“Disinilah yang menjadi titik pesimis saya terkait sanksi pidana mati Sambo,” tegasnya kemudian.
Dari segi opini penegakan hukum, Sjaiful menilai mungkin menjadi titik awal keadilan. “Tetapi dari segi penerapan putusan sanksinya, saya masih pesimis untuk menjadi titik awal keadilan di negeri ini dengan alasan yang sudah sampaikan,” nilainya.
Jika ini dikaitkan kemungkinan menjadi jalan untuk membuka kembali kasus KM 50, menurut Sjaiful tergantung dari komitmen para penegak hukum di negeri ini apakah mau serius mengungkap Kembali kasus KM 50. Tetapi kalau mengungkap kembali track record penanganan kasus korban pembunuhan 6 laskar jihad FPI, yang masih gelap dan belum terungkap hingga kini, ia masih pesimis. “Maka sekali lagi saya masih pesimis, untuk terungkapnya kembali kasus KM 50, apalagi kasus ini ditenggarai telah diintervensi kelompok geng elit,” ungkapnya.
Namun demikian Sjaiful menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J yang didalangi oleh Sambo, hanya bisa memberikan keadilan bagi pihak korban. Kalau misalnya menggunakan sanksi pidana Islam, yang dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah qishas, bahwa pelaku pembunuhan juga akan dikenakan sanksi bunuh juga kalau terbukti melakukan pembunuhan. Apalagi proses penerapan sanksi pidana Islam, berbiaya murah, tidak berbelit-belit dan memakan waktu panjang sampai berbulan-bulan.
“Juga dalam sistem pidana Islam tidak dikenal pengadilan bertingkat seperti pada sistem peradilan pidana sekuler,” jelasnya.
Dijelaskannya bahwa dalam pidana Islam kalau putusan Hakim (Qadhi), sudah dinyatakan sah maka langsung dilaksanakan. Tidak boleh ada yang membatalkan. “Itulah keadilan dalam sistem pidana Islam,” pungkasnya.[] Raras