Tinta Media - Prof. Dr. Fahmi Amhar, seorang Ilmuwan dari Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengungkap faktor penyebab terhambatnya kebangkitan umat Islam dalam menerapkan Islam secara kaffah.
"Ada beberapa hal yang menghambat kebangkitan umat Islam dalam menerapkan Islam secara kaffah," tuturnya dalam agenda Isra' Mi'raj Talk Show: Indonesia Berkah dengan Islam Kaffah, Sabtu (18/2/2023) di Kota Batam.
Pertama, faktor internal. Yakni dari diri kaum muslimin, dimana kaum muslimin memaknai agama sepotong-sepotong. Tidak memahami secara utuh dan keseluruhan, tidak melihat kesempurnaan dari hukum-hukum Islam. "Mengambil satu hukum namun meninggalkan hukum yang lain. Misalnya mengambil perintah salat, puasa, dan zakat saja namun meninggalkan perintah tentang qhisos. Maka, ketika kita ingin berjuang hendaknya ada perbaikan dari tubuh internal kaum muslimin sendiri yakni dengan menyadarkannya untuk kembali menerapkan hukum-hukum Allah secara sempurna," ungkapnya.
Kedua, adanya faktor eksternal yakni adanya orang-orang yang menghambat agar Islam tidak diterapkan secara sempurna (kaffah). "Mereka takut jika Islam diterapkan secara kaffah akan mengancam hegemoni atau kekuasaannya. Yakni mereka yang berada pada barisan kapitalisme dengan asas sekularisme," bebernya.
Prof. Fahmi juga mengingatkan kembali tentang sejarah Daulah Ustmaniyah di Turki yang telah runtuh. Penyebab keruntuhannya tidak lain karena masyarakat Turki memisahkan agama dari kehidupan.
"Pada masa lalu ada menteri luar negeri Inggris yang menjanjikan kemerdekaan kepada rakyat Turki, dengan syarat masyarakat Turki harus memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Akhirnya masyarakat Turki hidup terkotak-kotak dan akhirnya mengalami keruntuhan," ungkapnya.
"Meskipun janji Allah sudah sangat terang namun ketika di tubuh internal kaum muslimin masih jauh dari pemahaman Islam kaffah maka proses kebangkitan dan kemenangan pun akan terhambat. Ditambah pula faktor eksternal yang sangat gigih menghambat kebangkitan Islam. Mereka terus melabeli kaum muslimin yang dekat dengan Islam kaffah dengan sebutan radikalis, ekstrimis, hingga teroris. Maka usaha-usaha ini harus kita cegah. Tentunya kita wajib berusaha memperbaiki kondisi kaum muslimin dan berjuang melawan orang-orang yang menghambat kebangkitan Islam," tegasnya.
Prof. Fahmi, juga menerangkan dengan sangat gamblang bahwa dari perjalanan istimewa Isra' dan Mi'raj ada beberapa dimensi yang dapat kita jadikan sebuah hikmah dan pelajaran. Terdapat dimensi spritual, dimensi ideologis, dan dimensi teknologi.
"Dari peristiwa Isra' dan Mi'raj terdapat beberapa dimensi yang dapat kita jadikan hikmah dan pelajaran. Pertama dimensi spritual, yang dibuka dengan Surah Al-Isra ayat 1.
سُبْØٰÙ†َ الَّØ°ِÙŠْٓ اَسْرٰÙ‰ بِعَبْدِÙ‡ٖ Ù„َÙŠْÙ„ًا Ù…ِّÙ†َ الْÙ…َسْجِدِ الْØَرَامِ اِÙ„َÙ‰ الْÙ…َسْجِدِ الْاَÙ‚ْصَا الَّØ°ِÙŠْ بٰرَÙƒْÙ†َا ØَÙˆْÙ„َÙ‡ٗ Ù„ِÙ†ُرِÙŠَÙ‡ٗ Ù…ِÙ†ْ اٰÙŠٰتِÙ†َاۗ اِÙ†َّÙ‡ٗ Ù‡ُÙˆَ السَّÙ…ِÙŠْعُ الْبَصِÙŠْرُ
Artinya :
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
Al-Aqsa artinya tempat yang jauh. Jadi dimensi spiritual yang dapat dijadikan pelajaran adalah bahwa Allah memberikan peristiwa Isra' dan Mi'raj kepada Nabi Muhammad sebagai tanda kebesaran-Nya. Jika dihitung perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kurang lebih sepanjang 1.250 km artinya untuk pulang dan pergi menghabiskan jarak 2.500 km dan ditempuh selama 25 - 30 hari atau satu bulan jika mengendarai sebuah unta. Di mana kecepatan unta dalam sehari bisa mencapai rata-rata 80-100 km/harinya. Namun atas kehendak dan kebesaran Allah, Nabi Muhammad Saw, hanya bisa menempuh perjalanan ini hanya dalam satu malam," terangnya.
"Peristiwa ini juga mendapat reaksi penolakan alias nyinyiran dari kaum kafir Quraisy terutama Abu Jahal. Abu Jahal memanggil penduduk Mekah untuk mengabarkan bahwa peristiwa Isra' dan Mi'raj adalah rekayasa atau kebohongan Nabi Muhammad. Hal ini terdengar oleh Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar membenarkan apa yang telah dikatakan Nabi Muhammad, meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah manusia mulia yang tidak pernah berbohong. Sejak saat itulah Abu Bakar diberi gelar As-Shiddiq yang artinya selalu membenarkan," imbuhnya.
"Dimensi kedua adalah dimensi ideologis yang di dalamnya ada peran politis yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yakni menerapkan Islam secara sempurna dengan membangun daulah atau negara di Madinah. Dakwah terus gencar dilakukan, hingga Nabi mengirim surat kepada Kaisar Heraklius dari Kerjaan Romawi penguasa Bizantium. Isi surat dari Rasulullah kepada Huieraklius adalah ajakan untuk masuk Islam dan beriman kepada Allah Swt. Dimensi ideologis dan politis merupakan strategi Rasulullah untuk menerapkan Islam secara kaffah dan memperkuat dakwah Islam ke seluruh penjuru negeri," terangnya.
Lalu dimensi terakhir yang dapat kita jadikan hikmah dan pelajaran adalah dimensi teknologi. Prof. Fahmi Amhar mengajak para hadirin mengambil pelajaran dari sejarah ilmuwan dan cendikiawan Muslim yakni Al-Khawarizmi.
Peristiwa Isra' Mi'raj, katanya, juga memberikan gambaran bahwa umat Islam tidak boleh ketinggalan dari sisi ilmu sains dan teknologi. Sebagai contoh ilmuwan dan cendikiawan muslim, Al-Khawarizmi yang hebat dalam bidang matematika seperti algoritma dan aljabar. Ilmu-ilmu ini digunakan sebagai aerodinamika yang semuanya memerlukan perhitungan matematika. Tranportasi apa pun tentunya membutuhkan penerapan ilmu aerodinamika seperti pesawat terbang.
"Di satu sisi bisa kita bayangkan jika tidak ada sosok Al-Khawarizmi, tentunya orang-orang akan kesulitan menghitung. Sebagai contoh kita akan kesulitan mengerjakan perkalian jika menggunakan bilangan angka Romawi," ujarnya.
"Perjalanan Isra' dan Mi'raj menunjukkan bahwa ada sisi teknologi yang harus dikuasai kaum muslimin sebagai langkah persiapan jihad," pungkasnya.[] Reni Adelina