Tinta Media - Sejumlah kepala desa (kades) dari berbagai wilayah melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 Januari 2023 menuntut pemerintah dan DPR merevisi aturan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode. Mereka juga menuntut untuk mengembalikan wewenang penggunaan dana desa kepada desa hingga revisi UU Desa.
Menurut politisi PDIP Budiman Soejatmiko, konflik sosial diawal kemenangan menyebabkan masa efektif kades hanya 2-3 tahun, sehingga kepala desa tidak bisa maksimal mewujudkan visi dan misinya membangun desa. Mereka berpendapat dengan diwujudkannya 9 tahun masa jabatan maka akan memiliki waktu untuk mewujudkan visi-misinya, juga mengurangi biaya-biaya dan pergesekan antarelemen desa.
Jika kita lihat, aksi
ini secara tidak langsung menunjukkan ketidakmampuan kepala desa dalam memimpin selama 9 tahun dengan 2 periode jika
terpilih kembali, sekaligus juga mengakui betapa mahalnya biaya pemilihan dalam
sistem demokrasi sekalipun
dalam lingkup kecil.
Menelaah tuntutan mereka membuat miris, pasalnya mereka tidak
menyampaikan aspirasi tentang kondisi dan kebutuhan rakyatnya, mereka rela
datang dari berbagai penjuru hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka dan
adanya dugaan untuk semakin mudahnya mereka dalam penyalahgunaan dana desa.
Aksi ini menuai kritik dari berbagai kalangan, salah satunya dari
peneliti kebijakan dari IDP-LP, Riko Novianto berpendapat indikator
keberhasilan pembangunana desa bukan dari masa jabatan, tetapi diukur dari
kepercayaan warga desa terhadap kerja-kerja nyata aparatur desa. Ia juga menambahkan sebaiknya kepala
desa fokus kerja daripada memikirkan masa jabatan, kinerja yang baik tentu akan
membawa efek elektabilitas. Perpanjangan masa jabatan kades dikhawatirkan upaya
mendorong kepentingan politik pribadi. Hal ini diperkuat jika tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades
diperpanjang.
Mengutip dari Tirto.id, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menerangkan, kondisi
desa saat ini masih banyak masalah. Salah satunya soal tata kelola yang masih eksklusif dari partisipasi publik hingga isu
korupsi. ICW menilai sebaiknya fokus pemerintah bukan pada penambahan masa
jabatan, melainkan perbaikan sistem yang efektif untuk kemajuan pembangunan
desa.
Menurut data ICW, korupsi
di level desa masih
menempati posisi pertama atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak
2015-2021 dengan 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Angka korupsi tersebut berbanding
lurus dengan besaran anggaran yang digelontorkan untuk desa. Yakni sejak 2015-2021, Rp 400,1 triliun
dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal
pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan
penanganan kemiskinan ekstrem.
Hal tersebut
perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Karena hingga
saat ini belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif
untuk menekan korupsi di desa. Malah perpanjangan masa jabatan akan berpotensi melanggengkan oligarki di desa
dan politisasi desa.
Dalam sistem demokrasi tidak akan pernah berpihak kepada umat, karena hanya untuk memberi manfaat pada
oligarki dan pemilik modal. Bagaimana tidak, biaya pemilu yang mahal
mengharuskan untuk menggandeng para pemilik modal, selanjutnya ketika sudah
duduk dalam kekuasaan yang terjadi adalah politik transaksional, sehingga
kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang hanya berputar pada kepentingan
korporasi dan oligarki. Seluruh program kerja akan berjalan jika menguntungkan
partainya sendiri dan penyuntik dana. Sehingga wajar jika visi-misinya selama
kampanye tidak pernah tuntas dan menjadi solusi permasalahan umat.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang mereka genggam digunakan untuk
meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memandang halal-haram dan
memperhatikan hak-hak rakyat.
Lalu bagaimana Islam
memandang kekuasaan? Dalam hadits
riwayat Bukhari dijelaskan, ”Imam adalah raa’in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Sehingga lamanya masa jabatan tidak
akan menjadi persoalan, selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam
mengurus rakyat yang disadari kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Ta’ala.
Seorang khalifah
atau wali akan diberhentikan jika ia menyalahi hukum syariat. Seorang khalifah atau wali akan tetap
berkuasa selama ia taat kepada Allah dan menjalankan syariat. Kelanggengan
kekuasaan tidak akan menjadi celah untuk memperkaya dirinya dan keluarganya,
tidak juga menggunakan kekuasaan untuk berbuat sesukanya. Sejarah kegemilangan
politik Islam
dalam bingkai khilafah sudah membuktikan, diantaranya ada dua Umar sebagai khalifah yang adil dan
berhati-hati dalam menggunakan kekuasaannya.
Maka sudah jelas, jika menginginkan pembangunan desa berhasil, visi-misinya tuntas bukan dengan perpanjang masa jabatan kades, tetapi mengganti sistem politik dengan sistem Islam, karena sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang takut kepada Allah, memandang jabatan hanya sebatas amanah yang diemban dengan penuh kehati-hatian, karena kelak akan dipertanggungjawabkan atas apa yang diembannya.[]
Oleh: Musofah
Pengajar/Guru di Depok