Tinta Media - Pengunduran diri Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc pada Selasa (17/1/2023) setelah Partai Komunis yang berkuasa menyalahkannya atas kasus korupsi yang menimpa jajaran pejabat di bawah pemerintahannya, menurut Direktur Pamong Institut Wahyudi Al-Maroky sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
“Yang perlu kita ambil pelajaran adalah sisi moralnya. Ketika dia merasa bertanggung jawab kepada bawahannya yang terlibat korupsi maka merasa punya beban moral untuk melanjutkan jabatannya. Dan merasa bahwa dia tidak mampu untuk membimbing serta mengawasi anak buahnya supaya tidak korupsi. Sehingga sebagai wujud pertanggungjawabannya dia mengundurkan diri,” tuturnya di acara Bincang bersama Sahabat Wahyu: Presiden Mundur Setelah Pejabat Korupsi, Apakah Vietnam Belajar dari Indonesia? Melalui kanal Youtube Jakarta Qolbu Dakwah, Kamis (26/1/2023).
"Sebenarnya Nguyen bisa saja mengatakan, itu kesalahan anak buah saya, sementara saya tidak korupsi. Jadi saya tidak perlu mundur. Tapi ini cermin pemimpin yang tidak bertanggung jawab,” nilai Wahyudi.
Wahyudi menilai pengunduran diri semacam ini merupakan tradisi yang baik dan perlu diapresiasi. Kalau memang tidak mampu lebih baik mundur agar diganti dengan yang lebih mampu sehingga negara menjadi lebih baik.
Ia menyayangkan tradisi semacam ini belum menjadi budaya di Indonesia padahal korupsi di Indonesia sudah merajalela. Penyebabnya ujar Wahyudi, untuk meraih jabatan di negeri ini biayanya sangat tinggi sehingga kalau mundur sementara modal belum kembali akan rugi.
“Ketika seorang pejabat politik ingin menduduki dan meraih jabatan politiknya harus melalui proses pesta demokrasi yang biayanya begitu mahal. Baik menjadi presiden, menjadi Wapres, menjadi Gubernur, menjadi anggota DPR RI itu kan harus kampanye, harus mendaftar, harus beli perahu dan lain-lain yang biaya politiknya begitu mahal,” urainya.
Dengan biaya yang begitu mahal ini, lanjutnya, tentu sang calon tidak bisa membiayai sendiri, butuh investor politik atau oligarki yang akan membiayainya. Para oligarki juga ingin bisnisnya terjaga sehingga perlu mendudukkan orang-orang di berbagai jabatan agar bisa mengamankan bisnis mereka meski harus membiayainya.
“Di titik inilah maka para pejabat itu sulit mundur karena komitmen dengan para investor politiknya (oligarki) untuk mengamankan bisnis mereka belum terpenuhi. Bahkan bisa jadi dilarang mundur oleh para oligarki itu demi menjaga kepentingannya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun.