Tinta Media - Pemutusan hubungan kerja (PHK) kini semakin marak. Tidak hanya karyawan tetap yang mengalami PHK, karyawan kontrak pun bernasib sama. Bahkan, nasib mereka jauh lebih mengenaskan.
PHK pada karyawan tetap memerlukan prosedur yang lebih rumit karena ada kewajiban karyawan yang perlu dipenuhi oleh perusahaan, seperti pesangon. Sementara itu, PHK pada karyawan kontrak bisa langsung terjadi dengan cara tidak memperpanjang masa kontrak kerja ketika habis.
Kemudahan PHK pada karyawan kontrak ini menjadikan jumlahnya lebih besar daripada PHK terhadap karyawan tetap. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menyatakan, di Aspek saja, jumlah karyawan kontrak yang di-PHK mencapai 15 ribu orang, selain karyawan tetap. Mirah memperkirakan total karyawan kontrak yang diputus kontraknya mencapai ratusan ribu orang.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Menurutnya, jumlah karyawan kontrak yang diputus kontrak mencapai dua kali lipat dari karyawan tetap yang terkena PHK, yakni 200.000 orang lebih.
Sangat miris melihat nasib ratusan ribu orang yang sebelumnya memiliki pekerjaan, sehingga menganggur. PHK tidak hanya berdampak pada mereka, tetapi keluarga yang menjadi tanggung jawab mereka. Di balik para pekerja yang diputus kontraknya itu ada anak dan para istri yang harus dinafkahi, tetapi nafkah itu putus begitu saja karena putus kontrak. Terbayang efek yang akan terjadi, seperti konflik rumah tangga karena faktor ekonomi; anak kurang gizi, gizi buruk, atau stunting; dan minimnya akses pendidikan dan kesehatan karena tidak ada biaya.
Begitulah nasib pekerja kontrak, mereka bisa “dikeluarkan” dari pekerjaannya sewaktu-waktu jika majikannya mau. Nasib mereka seolah-olah seperti “budak” yang bisa diperlakukan sesukanya oleh “tuannya”.
Inilah hasil penerapan regulasi ketenagakerjaan yang zalim. Perppu 2/2022 yang menggantikan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja mengatur tentang pekerja kontrak, yaitu dalam poin perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Dalam aturan itu, pekerja kontrak dilegalkan untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Tetapi, faktanya, kebanyakan perekrutan karyawan yang perusahaan lakukan saat ini adalah dengan model kontrak.
Oleh sebab itu, perusahaan ragu untuk merekrut karyawan baru dengan hak-haknya kepada para pekerja, serta akan memilih model pekerja kontrak karena sedikit biaya. Dari segi itu, nasib pekerja kontrak sengsara karena kesejahteraan yang mereka dapatkan sangat minimal.
Selain itu, yang negara seharusnya berperan melindungi hak-hak pekerja justru membuat regulasi yang melegalkan praktik pekerja kontrak yang zalim. Negara seperti tutup mata terhadap penderitaan pekerja kontrak.
Inilah praktik ketenagakerjaan di dalam sistem kapitalisme. Negara mencukupkan diri dengan membuat regulasi, seperti sudah mengurusi rakyatnya. Padahal, sebenarnya negara sedang berlepas diri atas kewajiban menyejahterakan rakyat.
Yang lebih “menggemaskan”, regulasi buatan negara tidak melindungi hak pekerja, malah menyengsarakan. Regulasi ini dibuat untuk melayani kepentingan untuk “tuan kapitalis”, bukan untuk mengurusi rakyat.
Selain itu, negara menganaktirikan rakyatnya sendiri dan menganakemaskan rakyat asing. Semua ini tampak dari pembiaran masuknya tenaga kerja asing (TKA). Data Kementerian Ketenagakerjaan (28-12-2022) menyebutkan bahwa sampai Oktober 2022, jumlah TKA di Indonesia mencapai 110.833. Berdasarkan negara asalnya, TKA yang bekerja di Indonesia kebanyakan dari Cina, yaitu 51.600 orang.
TKA itu tidak hanya bekerja di bidang profesional yang butuh keahlian khusus, tetapi banyak juga bekerja sebagai pekerja kasar. Hal Ini merupakan regulasi aneh. Pada saat rakyat di dalam negeri terkena PHK, berbeda dengan TKA mereka mendapatkan karpet merah. Hal tersebut menunjukkan berpihakannya pemerintah pada asing, bukan pada rakyatnya.
Semua itu berbeda dengan sistem Islam yang berlaku adil pada para pekerja. Gaji pekerja dalam sistem Islam ditetapkan berdasarkan nilai manfaat yang pekerja berikan kepada pemberi kerja. Keduanya mengadakan perjanjian yang menyepakati perjanjian kerja, termasuk upah pekerjaan. Besaran upah bisa merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan tentang upah yang layak.
Dalam sistem Islam, penetapan upah tidak berdasarkan pada harga barang dan jasa. Upah tidak didasarkan pada kebutuhan dasar pekerja yang umum disebut upah minimum. Karena sejatinya yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar adalah negara, bukan pengusaha. Melimpahkan tanggung jawab negara pada pengusaha adalah tindakan zalim.
Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Yang berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan, negara memenuhinya dengan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat. Laki-laki dewasa yang sehat wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan rakyat yang lemah mendapatkan santunan dari negara.
Oleh sebab itu, negara harus memikirkan strategi agar rakyatnya memiliki pekerjaan, entah dengan menjadi pekerja, pedagang, petani, wirausaha, dan lain-lain. Negara juga dapat memberi bekal berupa modal, keterampilan, dan fasilitas lainnya sehingga lapangan pekerjaan terbuka lebar. Termasuk di dalamnya adalah membuka industri yang menyerap banyak tenaga kerja.
Negara tidak boleh memberi tempat bagi TKA, kecuali tenaga ahli yang langka dan hanya dibutuhkan untuk mengajari tenaga kerja lokal tentang keahlian yang ia miliki. Negara tidak menganakemaskan TKA dan menganaktirikan tenaga lokal, sebagaimana yang sistem kapitalisme terapkan.
Selain itu, terkait kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara menyediakannya secara gratis bagi seluruh rakyat. Sehingga, pekerja tidak akan menanggung beban yang bertumpu di pundaknya, karena memiliki jaminan dari negara.
Negara juga harus berperan menjadi pemutus bagi problematika antara pekerja dan pengusaha. Saat ada akad yang zalim, upah yang tidak layak, upah yang ditunda, pengusaha tidak membayar upah pekerja, pekerja tidak bekerja sesuai kesepakatan, dll., negara wajib hadir sebagai pemutus.
Hal tersebut sebagaimana firman Allah Swt. yang mewajibkan memenuhi hak pekerja, “Ada tiga golongan pada hari kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku. Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seseorang yang berjanji setia kepada-Ku, tetapi mengkhianatinya. Kedua, seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seseorang yang mempekerjakan pekerja, lalu setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi dia upahnya.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Demikianlah sistem Islam memberi sosusj bagi masalah PHK, yaitu dengan memosisikan pemimpin sebagai raa’in (pengurus dan pengatur) dan mas’ul (penanggung jawab) urusan rakyatnya. Bukan melemparkan tanggung jawab itu pada pihak lain (pengusaha) sehingga rakyat dijadikan korbannya. Wallahualam.
Oleh: Aning Juningsih
Sahabat Tinta Media