Tinta Media - Kemiskinan di Indonesia menjadi problem berkepanjangan. Kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Seseorang baru bisa disebut mampu jika kelima hal di atas terpenuhi.
Persentase angka kemiskinan di tahun 2021 dan 2022 sangatlah besar. Pada tahun 2021, di perkotaan persentasenya 7,50% dan di desa 12,29%. Sedangkan pada tahun 2022, di perkotaan naik menjadi 7,53% dan di desa naik menjadi 12,36%. Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini, kenaikan persentase sedikit saja sudah menyangkut kesejahteraan jutaan masyarakat. Lalu, mengapa hal ini terjadi?
Larasati Prayoga et al. (2021) menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah upah minimum yang tidak memadai, taraf hidup masyarakat yang buruk, dan meningkatnya angka pengangguran setiap tahun tanpa adanya tambahan kesempatan kerja. Peran semua pihak, baik masyarakat dan pemerintah turut dipertanyakan.
Apakah sumber daya manusia di negeri ini sudah baik? Apakah sumber daya manusia bisa memenuhi kebutuhan industri saat ini? Dari pertanyaan tersebut, kita bisa melihat bahwa bukan hanya masyarakat yang dituntut untuk berkembang, tetapi juga pemerintah.
Negara memegang peran besar dalam mengentaskan kemiskinan. Upaya yang dilakukan negara dalam meningkatkan upah minimum bagi pekerja tidak maksimal karena masih beriringan dengan naiknya harga bahan pokok dan BBM.
Begitu juga dengan usaha untuk mengurangi jumlah pengangguran dengan memberikan bantuan tunai untuk memulai usaha, tetapi tidak disertai dengan pendampingan dalam memulai bisnis juga tidak akan tidak akan membuahkan hasil secara signifikan.
Uupaya menyediakan lapangan pekerjaan pun tampak tidak berguna karena disertai persyaratan yang sulit dipenuhi oleh sumber saya manus. Tanya pada diri masing-masing, mau sampai kapan permasalahan ini terus merembet, tanpa solusi tuntas?
Setiap solusi yang diberikan pemerintah pun seolah menciptakan masalah baru. Mengapa hal ini berulang terjadi? Sebab, masalah kemiskinan bukan sebatas masalah personal, tetapi sistemik. Sistemlah yang meniscayakan terbentuknya rakyat miskin lagi dan lagi.
Sistem yang menyebabkan fenomena ini bernama sistem kapitalis. Kapitalisme memiliki teori di mana ada orang kaya, maka ada orang miskin. Jika ada manusia yang bertambah kaya, maka akan ada juga manusia yang bertambah miskin. (Adam Smith)
Oxfam, organisasi nonprofit yang berbasis di Inggris bersama dengan INFID menemukan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia sama dengan harta yang dimiliki oleh sekitar 100 juta orang miskin. Ketimpangan ini membuka mata kita bersama berapa tinggi ketimpangan kaya dan miskin di negeri ini.
Maka, usaha pementasan kemiskinan dalam lingkup kapitalis adalah omong kosong. Kapitalis adalah sebuah prinsip hidup dan sistem yang mendominasi dunia saat ini, termasuk Indonesia. Pemerintah negeri ini pun tak terkecualikan menjadi pengusung kapitalis. Bisakah kita berharap pemimpin seperti ini benar-benar berusaha mengentaskan kemiskinan?
Usaha mereka di depan layar tidak lain sebatas mencari muka. Rakyat pasti protes saat melihat pemerintah abai terhadap mereka. Dibuatlah kamuflase kesejahteraan untuk membungkam rakyat, mulai dari penyediaan BPJS, pemimpin yang suka bagi-bagi amplop sana-sini, dan sebagainya.
Padahal, dana BPJS diambil dari iuran rakyat. Amplop yang diberikan kepada rakyat pun berasal dari gaji pejabat. Dari manakah gaji dipenuhi? Ternyata melalui pajak. Kembali lagi, pajak tersebut berasal dari rakyat. Lalu, sumber daya alam kita yang melimpah itu di berikan ke siapa? Dimanakah pajak yang banyak itu, yang sampai-sampai jika ada rakyat yang ketahuan menyembunyikan kekayaan dikejar sampai ke ujung dunia?
Bodohnya, rakyat percaya dengan ilusi kepedulian tersebut. Padahal, di balik layar, pemerintah hidup untuk menyenangkan oligarki. Coba perhatikan di setiap tahun pemilu, para calon pasti berkampanye habis-habisan menggunakan dana triliunan.
Namun pertanyaannya, dari manakah dana tersebut berasal? Di sini lah andil oligarki mengalirkan dana. Sebagai balas budi, sang pemenang pemilu akan menuruti kemauan pemberi modal.
Hasil akhir dari permainan kapitalis ini adalah UU Omnibus Law, UU PKS, dan undang-undang lainnya yang secara ‘blak-blakan’ merugikan rakyat dan menguntungkan kapital (pemilik modal). Bahkan, saat rakyat berdemo menolak besar-besaran, mereka tidak sedikit pun digubris.
Indonesia memiliki potensi kekayaan alam melimpah ruah. Mirisnya, semunya diberikan kepada oligarki. Kalau pun ada yang dikumpulkan penguasa, semua akan berakhir pada kantong mereka, sebab di mata penguasa kapitalisme hanya ada uang dan keuntungan pribadi.
Oleh karena itu, selama kapitalisme bercokol di negeri ini, tiada yang namanya pemimpin amanah, meperhatikan rakyat, membantu pemenuhan kebutuhan mereka, dan sepenuh hati melayani masyarakat. Itu tidak mungkin ada.
Berbeda dengan pemimpin dalam Islam. Pemimpin dalam sistem ini memiliki sikap amanah dan selalu mendahulukan urusan rakyat ketimbang pribadi. Terbukti, tatkala di masa Umar bin Khattab pernah terjadi kemarau panjang, Umar bin Khattab rela hanya memakan roti dengan minyak zaitun demi rakyatnya.
Bahkan, pernah dikisahkan, Umar hanya memiliki dua set pakaian, sehingga ia harus menunggu bajunya kering sebelum salat Jumat. Ini salah satu contoh pemimpin di dalam Islam. Sangat berbeda, bukan, dengan pemimpin dalam sistem kapitalis?
Pemimpin dalam Islam memimpin berlandaskan hukum Islam dan ketakwaan. Dalam Islam, kedaulatan atau hak membuat hukum hanya milik Allah SWT. Undang undang yang ada tidak mungkin berubah sesuai situasi dan kondisi, karena yang membuat adalah Allah SWT. bukan manusia.
Dalam Islam, jika seorang pemimpin menzalimi rakyatnya atau tidak menerapkan hukum syariat, maka dia akan dimakzulkan. Tidak ada yang namanya perpanjangan masa jabatan atau pemaafan karena dia pejabat. Ini karena dalam Islam, semua manusia itu sama di mata Allah. Yang membedakan adalah ketakwaannya.
Sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda, “Andaikan Fatimah Binti Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya” (Hr. Bukhari)
Pemimpin-pemimpin ini pun memerintah berlandaskan ketakwaan. Kepemimpin seperti ini akan selalu mendahulukan rakyat daripada diri sendiri. Ketakutan akan pengawasan Allah Swt. membuat mereka selalu memerhatikan setiap tingkah laku, apakah seluruh rakyat telah terpenuhi kebutuhannya ataukah belum. Mereka tidak mungkin mengkhianati rakyat, apalagi berkolusi dengan oligarki.
Islam pun memiliki solusi sistemik untuk problema kemiskinan. Nusantara adalah negara khatulistiwa, negara tropis yang tentu memiliki beragam dan banyak sekali sumber daya alam. Hanya saja, distribusinya tidaklah merata. Ketimpangan antara oligarki dan masyarakat di kapitalisme sangat kentara.
Islam memiliki mekanisme distribusi yang menjamin tersebarnya kakayaan alam tersebut ke seluruh masyarakat. Tujuan politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu, juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuan individu dalam masyarakat tersebut. (Taqiyuddin Annabhani, Nidzamul Iqtishodi fil Islam)
Dengan berbekal ketakwaan penguasa, sumber kekayaan alam yang melimpah tidak akan hanya berputar di kalangan bangsawan, tetapi juga rakyat awam. Di dukung pula dengan banyaknya pos-pos pemasukan negara dalam Islam, maka kezaliman dan kemiskinan akan tertuntaskan dengan izin Allah Swt.
Maka, sebagai rakyat dan muslim yang baik, sudah sepantasnya kita membenci kapitalisme, sang sistem kufur dan menggantinya dengan Islam, sistem penuh berkah dan satu-satunya yang diridai oleh Allah Swt.
Ini sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Namun, hukum-hukum Islam ini tidak bisa diterapkan pada sistem kenegaraan buatan manusia. Sistem ini hanya bisa diterapkan pada kekuasaan yang juga berasal dari Islam, yakni khilafah. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Dzanuri
Aktivis Dakwah Kampus