Tinta Media - Miris, kejahatan seksual pada anak mengintai negeri. Lebih miris lagi, pelakunya adalah anak-anak.
Salah satu kasus kejahatan seksual pada anak oleh anak-anak yang terjadi beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 7 Januari 2023, yakni kasus pemerkosaan siswi Taman Kanak-kanak (TK) oleh tiga anak Sekolah Dasar (SD), yang merupakan tetangga korban dan teman sepermainan. (Liputan6, 20/1/2023).
Kasus serupa dari tahun ke tahun tidak pernah absen, bahkan bertambah meningkat. Mengapa bisa terjadi kasus seperti di atas secara berulang?
Berulangnya kasus kejahatan seksual dengan pelaku yang masih terkategori anak ini, salah satunya ditengarai akibat akses anak terhadap konten-konten pornografi yang makin terbuka lebar.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat ada 66% anak laki-laki pernah menonton kegiatan seksual melalui platform game online dan 63,2% anak perempuan pernah menonton pornografi. Lalu, 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah pernah melakukan kegiatan seksual. Miris.
Hal ini merupakan buah kelalaian negara dalam mengurus rakyatnya dalam berbagai aspek, khususnya sistem pendidikan, ekonomi, dan pengaturan media.
Akar persoalan bersumber dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang dijadikan sebagai asas negara.
Solusi sekuler selalu gagal dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan, seperti dalam menghadapi tingginya kasus kejahatan seksual dengan pelaku dan korban dari anak, dengan mewujudkan kota layak anak (KLA), memberlakukan hukuman dengan pemberatan, akan tetapi kasus kejahatan anak tetap tinggi. Solusi tersebut hanya menyelesaikan di permukaan saja tanpa menyentuh akar permasalahannya.
Solusi tuntas hanya dapat diperoleh dengan mengubah asasnya, yaitu dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas negara. Islam memiliki aturan yang lengkap dan paripurna yang mampu mencegah dan menyelesaikan persoalan ini.
Dalam Islam, sistem pendidikan yang diterapkan adalah sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, sedangkan sistem ekonominya adalah sistem ekonomi Islam yang membuka lebar lowongan pekerjaan bagi para pencari nafkah. Pengaturan medianya melarang adanya pornografi dan pornoaksi, sedangkan sistem sanksi yang diterapkan dapat membawa efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual.
Islam tegak di atas tiga pilar, yakni membangun ketakwaan individu, menciptakan lingkungan yang kental dengan tradisi amar makruf nahi mungkar, serta penerapan syariat Islam kafah oleh negara, termasuk sistem sanksi yang membawa efek jera.
Peran negara dan pemimpinnya sangat penting dalam menerapkan syariat Islam tersebut. Rasulullah saw. bersabda terkait tanggung jawab pemimpin negara,
"Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR Muslim).
Serta hadis lain, "Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad).
Islam memandang bahwa anak adalah setiap orang yang belum mukalaf (akil, balig, dan punya daya pilih). Mereka tidak terkena sanksi jika melakukan kejahatan, hanya akan di-ta'dib, dan orang tua akan ditakzir jika lalai. Jika seseorang sudah mukalaf meskipun masih berusia di bawah 18 tahun, maka ia tidak terkategori lagi sebagai anak, sehingga bisa dikenai sanksi hukum sesuai kejahatannya.
Sungguh indah bila Islam diterapkan secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Negeri yang _baldatun toyyiban warobbun ghofur_ akan terwujud nyata. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surat al-A'raf ayat 96,
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Wallahualam bissawab.
Oleh: Naina Yanyan
Sahabat Tinta Media