Tinta Media - Keledai jatuh di lubang yang sama, KPK menangkap satu lagi buronan pelaku korupsi. Kali ini pelakunya adalah Bupati Memberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak yang buron selama kurang lebih 7 bulan. Ia ditangkap atas kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), suap, dan gratifikasi.
Nyaris dalam waktu bersamaan, mantan Kades Kalibeluk, Batang, Masjkuri dituntut 5 tahun penjara atas kasus tindak pidana korupsi.
Kemudian, dikutip dari CNBC.com, tujuh saksi diperiksa Kejagung atas kasus korupsi dana pensiun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT PELINDO. Mirisnya, masih banyak korupsi lagi dalam beberapa hari ini. Ini masih yang tertangkap KPK. Masih terdapat kemungkinan adanya kasus yang belum terungkap.
Korupsi merupakan sisi kelam demokrasi. Sistem politik yang mengaku identik dengan kebebasan dan permusyawaratan, nyatanya menjadi lubang tak kasat mata bagi berbagai tindak jahat pejabatnya.
Tanpa data resmi pun, sekarang rakyat bisa tahu bahwa pejabat berskandal korupsi sudah tidak mampu dihitung jari. Dari Sabang sampai Merauke, berjajarlah pejabat pengkhianat rakyat ini.
Negeri ini memang memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di depan layar. Namun, faktanya tidak kunjung meghentikan gelombang korupsi. Tak ayal, Indonesia pun menjadi parodi rakyatnya sendiri. Begitu pun di mata dunia, Indonesia berada di jajaran atas negeri dengan tingkat korupsi yang tinggi.
Negara khatulistiwa ini sesungguhnya memiliki kekayaan alam yang melimpah. Coba perhatikan, setiap mendekati hari kemerdekaan Indonesia, bertebaran iklan betapa kayanya negeri kita dengan jumlah kekayaan bahari nomor satu dunia, misalnya dan lain-lain.
Begitu kaya Indonesia, sampai salah seorang Founding Father kita pernah mengatakan jika seandainya kayu ditancapkan di tanah Indonesia pasti bisa tumbuh.
Negara agraris, maritim, kolam susu, dan lainnya seolah tidak cukup menggambarkan karunia Tuhan yang diberikan pada negeri ini.
Sayangnya, sekaya-kaya negeri ini akan bernilai nol jika pemimpinnya tidak amanah. Memang, tampaknya kita kaya. Namun, apa jadinya jika kekayaan tersebut hanya dinikmati kalangan bangsawan?
Pegiat korupsi menjabat, oligarki membumi, pejabat prokorporat membabi buta, penguasa bermental pengusaha, fenomena-fenomena seperti inilah yang faktanya menyuburkan kesengsaraan masyarakat.
Mental pejabat pengkhianat rakyat lahir dari lingkungan bersuasana kapitalis-demokrasi. Mereka dididik berkarakter kapitalis, mengutamakan uang dan keuntungan di atas segalanya.
Ditambah lagi, uang pajak yang banyak, kekayaan alam yang melimpah, dan kehidupan mewah mengelilinginya tanpa disertai rasa tanggung jawab kepada rakyat dan keimanan berupa ketakutan memakan uang rakyat yang sangat dibenci Allah Swt. menjadikan para pejabat tidak sungkan berbuat bejat.
Selain itu, mereka menanggung utang menggunung kepada para korporasi dan oligarki. Pasalnya, biaya kampanye yang mahal meniscayakan harus adanya pinjaman dana dari korporasi. Oleh karena itu, selama masa jabatan, sang pemenang pemilu tertuntut membayar utang, sedangkan gaji tak mencukupi. Akhirnya, mereka pun tergelitik untuk melakukan korupsi.
Lingkungan bernuansa kapitalis-demokrasi dengan kekuasaan dipegang kapitalis (korporat), dan menuhankan manusia inilah yang menjadikan kasus tindak pidana korupsi dan kolusi tidak pernah selesai, bahkan terus-menerus bertambah.
Keadaan ini akan sangat berbeda jikalau yang menjadi sistem di negeri ini adalah sistem Islam. Negara Islam mewajibkan pada warganya menjaga akidah segenap warganya, sehingga suasana iman akan terus dijaga dalam masyarakat.
Penjagaannya berupa penggunaan kurikulum Al-Qur'an, wajibnya amar makruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah dari kemaksiatan) kepada sesama muslim, pemberian sanksi tegas pada pelaku kemaksiatan apa pun bentuknya, dan sebagainya.
Dengannya, pejabat di dalam Islam memiliki benteng keimanan yang kokoh untuk menahan diri sendiri agar tidak memakan uang rakyat. Mereka sangat takut akan azab dari Allah apabila mengkhianati rakyat.
Sebagaimana salah satu hadis sahih yang menyebutkan bahwa seorang pemimpin akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Jika ada satu saja rakyat yang mengadu di hadapan Allah pada hari penghisapan kelak, maka cukup untuk membuat sang pemimpin sulit masuk ke surga.
Hal ini sangat dipahami oleh para pemimpin di masa kepemimpinan politik Islam (khilafah) masih ada. Salah satunya di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.
Masyhur di kalangan kaum muslimin kisah tentang Umar bin Khattab yang berkeliling pada malam hari di desa-desa dan menemukan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang janda dan dua orang anaknya yang kelaparan.
Sang janda mengelabui anaknya yang kelaparan dengan memasak batu dan air. Umar yang melihatnya dari jendela seketika menangis bagaikan bayi. Setelah itu, beliau pun pergi ke gudang penyimpanan bahan makanan milik negara, memikul sendiri sekarung bahan makanan itu, dan memberikan ke keluarga yang kelaparan tersebut.
Karena ketakutan kepada Allah, Umar juga pernah meminta cucunya yang masih kecil untuk memuntahkan sebutir kurma zakat yang terlanjur ia makan. Beliau khawatir kurma yang sedikit itu tumbuh menjadi daging haram.
Inilah pemimpin dan pejabat yang amanah dalam sistem Islam. Tentu hal ini sangat berbeda dengan kapitalis yang bahkan memproduksi pemimpin pengkhianat secara sengaja atau pun tidak sengaja.
Maka, kaum muslimin dan masyarakat Indonesia secara umum sudah seharusnya mencampakkan sistem kapitalis ini segera dan menggantinya dengan sistem Islam. Wallahu a'lam bis shawab.
Oleh: Wafi Mu'tashimah
Sahabat Tinta Media