Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah, menafsirkan ayat ini dengan menulis : Umat Islam membutuhkan pemahaman agama dalam segala perkara, maka tidak seharusnya orang-orang beriman yang mampu berjihad pergi berjihad seluruhnya, dan meninggalkan kaum muslimin yang lain tanpa ada orang faqih yang dapat dipilih Imam untuk mengajarkan urusan agama mereka. Namun seharusnya setiap pasukan terdiri dari utusan setiap kabilah, dan beberapa orang tetap tinggal untuk belajar ilmu syariat, dan untuk memberi pelajaran dan peringatan kepada pasukan ketika telah kembali ke negeri mereka, agar mereka takut terhadap azab Allah jika menyelisihi perintah-Nya.
Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah menafsirkan ayat ini dengan menulis : Selayaknya orang-orang mukmin tidak pergi untuk berperang semuanya (Dikatakan bahwa agar pergi mencari ilmu) dan meninggalkan Madinah dalam keadaan kosong, namun pergi dalam kelompok-kelompok dari masing-masing kafilah. Dan sisa kelompok lainnya tinggal (di Madinah) untuk belajar agama dan ilmu syariat, serta mengingatkan kaumnya ketika mereka kembali kepadanya agar diajari ilmu yang sudah mereka pelajari berupa hukum halal haram supaya mereka mewaspadai hukuman Allah dengan mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Ayat ini turun ketika orang mukmin sangat ingin berjihad saat rasulullah SAW mengutus satu pasukan, lalu mereka pergi dan meninggalkan Nabi SAW di Madinah bersama sedikit orang.
Dua tafsir diatas memberikan penjelasan tentang, pertama, jihad dalam arti perang melawan serangan musuh-musuh Allah. Kedua, pentingnya tafaqquh fiddin, yakni mendalami ajaran Islam, sehingga bisa disampaikan saat para pesukan jihad kembali ke Madinah dengan aktivitas ta’lim dan dakwah.
Kata jihad hanya ada dalam khasanah Islam, bahkan tercantum dalam Al-Qur'an dan Assunah. Karena itu istilah jihad tidak boleh diinterprestasikan di luar ajaran Islam atau digunakan untuk kepentingan di luar Islam. Secara etimologi, kata jihad bermakna bersungguh-sunggguh, berlebihan, beban, rasa lelah, lemah, sakit, kekuatan, usaha dan upaya (Mu’jam Al Wasith). Beberapa kamus Bahasa Arab mengartikan kata jihad sebagai beban (al masyaqqah), kekuatan (Ath Thaqah), upaya (Al Wus’u), perang (Al Qital), sungguh-sungguh (Al Mubalaghah) dan capek (At Ta’b).
Secara umum pengertian lain kata jihad secara etimologi menurut Ibnu Manzur, Imam An Nawawi, Al Kasani, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Al Azhar, Al Bahuti Al Hanbali bermakna bersungguh-sungguh di jalan Allah atau bersungguh-sungguh beramal membela Islam dan muslim. Jadi sementara bisa disimpulkan jihad bela Pancasila tidak ditemukan dalam khazanah Islam, alias ngawur.
Al Qur’an menggunakan kata jihad setidaknya terdapat dalam 28 ayat, diantaranya adalah : Al Furqon : 52, An Nahl : 110, Al Ankabut : 6, 69, Al Baqarah : 218, Al Anfal : 72,74 dan 75, Ali Imran : 142, Al Mumtahanah : 1, An Nisaa’ : 95, Muhammad : 31, Al Hajj : 78, Al Hujuraat : 15, At Tahrim : 9, Ash Shaff : 11, Al Maidah : 35, 54, At Taubah : 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86 dan 88.
Secara terminologi, Ensiklopedia Umum Islam, kata jihad dimaknai sebagai perang dalam rangka menegakkan kalimat Allah terhadap orang kafir harbi setelah sebelumnya didakwahi. Al Mu’jam Al Washit menjelaskan bahwa jihad adalah perang melawan kafir harbi. Said bin Ali Al Qahthani mendefinisikan jihad sebagai mencurahkan kemampuan dalam perang melawan kafir harbi dalam rangka menegakkan kalimat Allah.
Ibnu Rusyd (w. 595 H) sebagaimana dinukil Abdullah ‘Azzam (w. 1989 M) menyatakan bahwa kata jihad fi sabilillah apabila disebut secara mutlak, maka maksudnya adalah perang dengan orang kafir harbi, hingga masuk Islam atau bayar jizyaz. Ibnu Manzur (w. 171 H) menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan segenap kemampuan untuk berperang melawan musuh-musuh Allah.
Begitupun makna terminologis jihad menurut An Nafrawi (ulama mazhab Maliki), Al Kasani (ulama mazhab Hanafi) dan Ibnu Hajar (ulama mazhab Syafi’i) mengarah pada satu makna yakni berperang melawan kaum kafir harbi dengan segala kekuatan dan kemampuan dalam rangka menegakkan kalimat Allah.
Intinya istilah jihad yang merupakan khasanah Islam ini digunakan dalam membela Islam dan kaum muslimin dari ancaman musuh-musuh Allah, bukan digunakan untuk kepentingan di luar Islam. Adalah kesalahan fatal jika ada orang mengatakan jihad untuk membela demokrasi, sebab demokrasi adalah ideologi kufur yang berasal dari Yunani. Jihad bela demokrasi adalah kesalahan epistemologi, terlebih jika ada orang bilang jihad bela calon dalam pemilu demokrasi, maka perkataan ini menunjukkan kebodohan. Logikanya, demokrasi adalah ideologi penjajah di negeri-negeri muslim, bagaimana mungkin malah dibela, dengan kata jihad lagi.
Demokrasi adalah ideologi transnasional yang berakar dari filsafat barat yang sekuler, maka kecenderungan para pemuja demokrasi selalu anti Islam dan terus berusaha menghalang-halangi penerapan dan perjuangan Islam. Ajakan untuk tunduk kepada Islam selalu dihalangi oleh gerombolan kaum munafik yang berkomplot dengan kaum kafir. Mereka justru menerapkan sistem thoghut dan menolak syariah. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan.
Demokrasi secara diametral memang bertentangan dengan Islam. Perbedaan mendasar antara demokrasi dan Islam terletak pada asas paradigma dimana dua ideologi ini tegak berdiri. Pijakan demokrasi adalah konsensus mayoritas, sementara Islam berpijak kepada otoritas wahyu.
Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan Alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum". (QS Al Kahfi : 26)
Demokrasi adalah sistem destruktif karena membuka ruang kebebasan hampir tak terbatas. Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan adab dan kebajikan dalam setiap aspek kehidupan. Nilai-nilai Islam membatasi setiap pemikiran dan sikap manusia. Karena itu kedua ideologi ini akan menemukan pertentangannya di lapangan. Sebab pada dasarnya demokrasi menolak Islam.
Penolakan demokrasi terhadap Islam adalah bentuk inkonsistensi yang selama ini dibangun diatasnya paradigma kebebasan. Namun sebagaimana ideologi yang lain seperti komunisme, maka setiap ideologi pasti menyimpan pertentangan satu dengan lainnya. Clash of ideologies adalah sebuah keniscayaan.
Itulah mengapa, meski slogan demokrasi adalah kebebasan berpendapat, namun jika umat Islam mulai bangkit dan sadar dengan agamanya, oleh demokrasi justru dihadang dan dilumpuhkan. Jika ada seruan umat Islam untuk bersatu, maka demokrasi langsung bereaksi memecah belahnya. Maka adu domba, fitnah, kriminalisasi hingga persekusi terhadap Islam dan ulama telah menjadi fenomena umum belakangan ini.
Yang dimaui oleh kebebasan demokrasi adalah kebebasan yang sesuai dengan paradigmanya. Hak asasi manusia yang digaungkan oleh demokrasi adalah hak asasi untuk melakukan perbuatan maksiat. Jika yang dilakukan oleh umat Islam adalah mendakwahkan Islam, maka demokrasi akan menuduh radikal dan intoleran. Sementara perilaku maksiat dibiarkan tumbuh subur.
Adalah benar jika disebutkan bahwa demokrasi bisa berubah menjadi sebuah tirani, jika kondisi sosial politik yang diinginkan demokrasi tidak terjadi. Eksistensi Islam adalah sebuah ancaman bagi demokrasi, maka persekusi adalah salah satu cara untuk menghentikan pergerakan pemikiran dan kebangkitan Islam. Demokrasi bisa berubah menjadi tirani.
Dalam buku Diktator karya Jules Archer disebutkan bahwa karena populernya demokrasi di seluruh dunia, maka tak segan-segan para pemimpin diktatorpun berbohong dan mengaku dirinya sebagai penganut demokrasi. Ulbricht dari Jerman Timur memberi cap bagi negara komunisme dengan istilah Republik Demokrasi Jerman. Bahkan Stalin menyebut kekuasaannya dengan istilah Demokrasi Terpusat.
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Yusuf : 40). Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS Al An’am : 116)
Islam berasal dari Allah, sementara demokrasi berasal dari filsafat Yunani lalu dikembangkan di dunia Barat. Oleh karena itu demokrasi berpaham sekuler liberal yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Sementara Islam adalah berbasis tauhid yang mewujud dalam semua aspek kehidupan. Demokrasi melahirkan peradaban sekuler lliberal yang anti agama, sementara Islam melahirkan peradaban mulia yang mengintegrasikan antara sains dan agama.
Antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetic, demokrasi itu anti agama (baca : Islam).
Kesimpulannya, menggunakan istilah jihad untuk membela demokrasi adalah sebuah kesesatan intelektual, sebab jihad adalah istilah dalam ajaran Islam, maka kata jihad mesti ditempatkan sesuai dengan ajaran Islam, yakni jihad bela Islam.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 30/01/23 : 08.12 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa