Tinta Media - Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Dr. Marwan Batu Bara menilai rencana pemerintah memasukkan skema power wheeling ke dalam Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBET) akan merugikan negara dan merugikan rakyat.
“Kalau skema ini diterapkan akan merugikan negara, merugikan BUMN dan merugikan rakyat sebagai pelanggan listrik,” ungkapnya di acara Bincang Perubahan: Power Wheeling Langgar Konstitusi dan Rugikan Rakyat, melalui kanal You Tube Bincang Perubahan, Kamis (2/2/2023).
DPR tengah menyiapkan RUU EBET yang memasukkan skema power wheeling. “Power wheeling adalah kebolehan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik EBET dan memanfaatkan jaringan transmisi distribusi yang sudah dibangun PLN untuk menyalurkan listriknya ke pelanggan tertentu,” terangnya.
Marwan mengatakan, jaringan transmisi Jawa, Sumatera, Bali itu sudah terbangun oleh PLN. Pembangikitnya sudah ada, kapasitasnya pun berlebih. Kelebihan cadangan di Bali mencapai 50 – 60 % sehingga tidak butuh ada pembangkit baru.
“Jadi Indonesia tidak butuh pembangkit listrik swasta sebab di samping cadangan listrik PLN sudah berlebih, PLN juga telah memiliki pembangkit listrik EBET yang mampu mencukupi kebutuhan listrik di seluruh wilayah Indonesia,” bebernya.
Menurut Marwan memaksakan skema power wheeling masuk dalam cakupan UU EBET berbahaya karena melanggar konstitusi pasal 33.
“Listrik merupakan sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya dikuasai oleh negara. Kalau swasta dibiarkan menguasai listrik akan terjadi persaingan terbuka yang menyebabkan harga listrik naik,” kritiknya.
Dengan masuknya listrik swasta lanjutnya, pendapatan PLN akan turun sehingga sangat mungkin PLN tidak lagi bisa membangun jaringan listrik di daerah tertinggal.
“Sasaran swasta dan asing memaksakan skema power wheeling adalah agar mereka bisa mendapatkan pelanggan-pelanggan yang butuh daya besar termasuk di kawasan industri atau perusahaan multinasional yang memang butuh listrik besar. Mereka dapat keuntungan besar tapi merugikan negara dan pelanggan,” sesalnya.
Ditolak MK
Menurut Marwan, skema power wheeling ini pernah ditolak MK pada 2003 dalam putusan nomor 001 tahun 2003. Tapi karena ketamakan dari pengusaha kemudian sikap otoriter penguasa yang tergabung dalam oligarki akhirnya menerabas prinsip-prinsip moral dan hukum yang sudah diatur sejak negara ini berdiri.
“Yang dipakai sistem barbar, karena berkuasa, karena punya uang bisa nyuap, nafsu untuk menguras kekayaan negara dan rakyat tidak bisa dibendung, itulah sebabnya mereka mencoba lagi memasukkan skema power wheeling dalam UU EBET yang akan dibahas di minggu-minggu ini. Kalau rakyat diam skema ini bisa masuk,” ingatnya.
Marwan mengingatkan dengan kebijakan membiarkan swasta membangun pembangkit listrik secara jor-joran, kemudian PLN juga membangun maka dalam 5 sampai 6 tahun terakhir cadangan listrik berlebih bahkan hingga 2027 nanti cadangan masih berlebih.
“Berlebihnya cadangan itu otomatis akan menaikkan tarif listrik yang kita bayar karena pembangkit harus tetap dioperasikan. Dalam kondisi seperti ini menjadi sangat bodoh kalau negara masih membiarkan swasta menambah pembangkit atas nama energi baru dan terbarukan untuk mitigasi perubahan iklim dan menyediakan energi hijau,” urainya.
Mitigasi perubahan iklim dengan menyediakan energi hijau nilai Marwan, bukan merupakan hal mendesak karena Indonesia bukan negara yang paling banyak membuat polusi dunia. “Amerika, Cina, Eropa merekalah yang mestinya bertanggung jawab karena merekalah negara yang paling banyak membuat polusi dunia,” tandasnya.
Artinya tegas Marwan, kalau bicara argumentasi ilmiah dan obyektif ada banyak alasan untuk menolak power wheeling. Negara juga bisa menggunakan alasan itu untuk menolak tekanan dari luar negeri, asing atau korporasi multinasional.
“Masalahnya justru alasan-alasan ini ingin dihilangkan, tapi kepentingan asing yang justru ingin diakomodasi melalui Independent Power Producers (IPP) dengan memasukkan skema power wheeling,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.