Derita Rakyat dan Rusaknya Alam akibat Eksplorasi dalam Kapitalisme - Tinta Media

Selasa, 14 Februari 2023

Derita Rakyat dan Rusaknya Alam akibat Eksplorasi dalam Kapitalisme

Tinta Media - Eksplorasi pertambangan emas tidak lepas dari buangan sisa-sisa perlakuan atau lebih dikenal dengan residu atau limbah. Begitu pun dengan PT. Freeport Indonesia, yang menghasilkan residu atau limbah dan tentu saja berdampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar. 

Diketahui bahwa residu atau limbah penambangan emas yang disebut tailing ini merupakan kombinasi dari butiran halus (ukurannya berkisar 0,001-0,6 mm) bahan padat yang tersisa pasca logam mulia dan mineral dilakukan proses ekstraksi dari bijih yang ditambahkan bersama-sama dengan air dalam proses pemulihan. 

Telah disepakati bersama pemerintah bahwa buangan tailing ini akan dialirkan melalui tempat yang telah ditetapkan, yakni Sungai Ajkwa. PT. Freeport Indonesia menyetujui pengolahan buangan tailing ini tidak akan merugikan masyarakat sekitar, serta akan ada kompensasi bagi kriteria wilayah atau daerah yang telah dipetakan oleh PT Freeport Indonesia.

Pada tahun 2005, dalam pemberitaan oleh media Suara Pembaruan (17/1) Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Chalid Muhammad meminta pemerintah menindaklanjuti informasi tentang pelanggaran pengelolaan lingkungan, terutama menangani dugaan perusakan dan pencemaran lingkungan di sepanjang Sungai Ajkwa yang menjadi tempat pembuangan limbah dari PT Freeport hingga mencapai perairan Laut Arafura. Tailing yang dibuang ini melampaui baku mutu total suspended solid (TSS) yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia. Sayangnya, seruan tersebut tidak mendapat respons apa pun dari pemerintah, maupun perbaikan pengelolaan tailing oleh perusahaan tersebut.

Benar saja, hingga kini persoalan buangan tailing yang berdampak pada wilayah sekitar areal PT Freeport dan yang berada di luar areal yang diizinkan untuk dilalui oleh buangan tailing PT Freeport terus bergilir, bahkan sampai mematikan akses mata pencaharian masyarakat sekitar. 

Sungai yang digunakan sebagai tempat pembuangan ini merupakan salah satu akses transportasi yang menunjang mata pencaharian masyarakatnya. Adanya pendangkalan yang terus menerus menyebabkan penyempitan lahan sungai dan berujung pada hilangnya sungai, berganti menjadi daratan. 

Kemudahan transportasi yang dulunya diperoleh masyarakat untuk melakukan aktivitas ke wilayah lainnya telah hilang. Kompensasi yang diberikan PT Freeport Indonesia pun hanya terbatas pada wilayah yang dipetakan oleh mereka saja. Padahal, dampak dari bertahun-tahun buangan tailing ini telah meluas jauh dan merugikan banyak wilayah distrik lainnya.

Dilansir dari media Kompas.com (3/2/2023), persoalan tentang dampak buruk dari buangan tailing PT Freeport Indonesia ini dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV DPR RI  dengan DPR Papua dan aktivis di Gedung DPR RI (1/2). 

Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa PT Freeport membuang lebih dari 300 ribu ton per hari limbah tailing ke sungai yang berdampak ke tiga distrik, yakni Agimuga, Jit, dan Manasari. Akibatnya, sungai tercemar, krisis air, ikan, dan sumber makanan lain mati, hingga penyakit kulit menular dan mematikan. 

Setidaknya ada 6 ribu warga di Timika, Papua yang mengalami dampak kerusakan lingkungan akibat limbah tailing ini. Kerusakan ekosistem ini tidak hanya meliputi wilayah distrik yang diizinkan untuk pembuangan tailing, tetapi di wilayah distrik lainnya pun mengalami dampaknya. 

Perwakilan masyarakat Timika Papua mengharapkan ada tindakan hukum bagi PT Freeport  dan sekaligus melakukan pemulihan atas kerusakan lingkungan hidup tersebut.

Harapan dari DPR Papua dan para aktivis perwakilan masyarakat Timika tentu mendapat respons positif dari pemerintah pusat untuk bertindak tegas terhadap PT Freeport Indonesia. Ini karena kesulitan tersebut telah dirasakan lama, terutama di sektor perekonomian masyarakat, antara lain biaya pangan dan kebutuhan lainnya lebih mahal karena sarana transportasi terganggu akibat jarak dan waktu yang lebih lama. 

Peninjauan langsung oleh anggota DPR RI menjadi upaya berkelanjutan dalam penyelesaian persoalan buangan limbah tailing tersebut. Masyarakat terdampak dapat merasakan kembali kemudahan akses serta lingkungan yang sehat kembali. Apa sebab utama terjadinya hal ini? Bagaimana solusi agar kejadian tersebut tidak berulang?

Kapitalistik Sebab Polemik Tailing Tidak Terselesaikan

Tidak dapat dimungkiri, sistem perekonomian yang sedang dibangun negeri ini adalah ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, kepentingan para kapital atau pemodal besar lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Maka, tak heran jika kebijakan pengelolaan sumber daya alam negeri ini diserahkan kepada para pemilik modal (kapitalis), baik domestik maupun asing. 

Fungsi negara hanya sebagai regulator saja. Hal ini menjadikan negara cukup puas dengan penghasilan pendapatan dari pengelolaan para kapitalis tersebut, yakni pajak yang dibebankan kepada PT Freeport.  

PT Freeport Indonesia, sebagai pengelola diberikan keleluasaan dalam menjalankan aktivitas eksplorasinya. Aturan yang telah disepakati dengan negara dalam pembuangan limbah tailing tidak membuat PT Freeport melihat lebih jauh dari dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat dan lingkungan. Bahkan, sampai menimbulkan bahaya kematian bagi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. Mereka hanya memikirkan keuntungan yang banyak bagi perusahaan. Gelombang protes dari tahun ke tahun pun tidak membuatnya bergeming untuk segera memenuhi keinginan masyarakat di wilayah terdampak.

Dari fakta yang disampaikan, kondisi kerusakan ekosistem dari buangan tailing ini tidak mendapat respons cepat dan tanggap. Wajar jika PT Freeport Indonesia mengklaim bahwa mereka telah sesuai prosedur. Ini karena mereka tidak pernah memikirkan dampak besar dari lamanya proses pembuangan limbah tersebut, sehingga mengakibatkan meluasnya wilayah yang terdampak. Ini terbukti dengan kompensasi yang diberikan PT Freeport terbatas pada wilayah yang disepakati saja. Inilah kerugian besar dari lepasnya peran negara sebagai pengelola sumber daya alam melimpah ini.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 bahwasanya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, sedangkan pada ayat 3 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Maka jelas, sumber daya alam melimpah dan menghasilkan keuntungan bagi rakyat seharusnya dikelola oleh negara, bukan selainnya. Ini karena negara bertujuan untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Kesulitan dan kerusakan yang merugikan rakyat akibat eksplorasi akan menjadi prioritas negara untuk mengatasinya. Ini karena regulasi dan pengelolaan langsung diatur negara.

Solusi Islam dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Islam memiliki aturan tertentu dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagi Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat secara umum. 

Islam mengharamkan pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada individu, swasta, apalagi asing sehingga asing tidak berkesempatan dalam mengeruk sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum bagi seluruh rakyat.

Prinsip pengelolaan sumber daya alam ini adalah untuk kemaslahatan umat dengan menjaga lingkungan tetap sehat dan memberi manfaat bagi umat. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari eksplorasi akan diupayakan solusinya agar lingkungan tidak mengalami kerusakan. 

Hal ini karena rusaknya ekosistem lingkungan hidup akan berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan manusia. Maka, Islam mengatur dalam pemanfaatan sumber daya alam hanya diperbolehkan sebatas kebutuhan rakyat. Tidak ada eksploitasi yang menyebabkan pencemaran ekosistem hidup di dalamnya meluas. 

Kekayaan milik umum seperti minyak bumi, gas, dan barang tambang yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya besar, maka wajib pengelolaannya oleh negara. Hasil pendapatannya masuk ke dalam kas negara sebagai sumber utama pendapatan umum APBN untuk kepentingan rakyat. Negara diperkenankan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam menjual kepemilikan umum tersebut ke pihak luar negeri.

Inilah gambaran pengelolaan sumber daya alam dalam Islam sebagai solusi dari polemik pengelolaan dalam kapitalisme. Kesejahteraan dan kepentingan rakyat menjadi kewajiban negara dalam memenuhinya. Negara tidak menyerahkan begitu saja pengelolaan kekayaan alam t berlimpah ini kepada pihak lain yang justru akan mengeruk sampai habis dan meninggalkannya begitu saja sehingga rakyat menderita. 

Islam memiliki aturan paripurna dalam segala aspek kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam ini. Semua dapat diterapkan secara menyeluruh jika Islam menjadi satu-satunya yang mengatur kehidupan bagi negara. Wallahu’alam bishawab.

Oleh: Ageng Kartika
Pemerhati Sosial 


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :