Tinta Media - Saat menjelang pemilu, calon wakil rakyat berusaha mendekat agar rakyat mau menjatuhkan pilihan pada mereka. Bahkan, tidak jarang mereka memberikan hadiah serta menyebar janji-janji manis jika terpilih nanti.
Namun, apa yang terjadi saat mereka sudah duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat? Mereka lupa dengan komitmen dan janji-janji manis untuk berpihak pada rakyat. Mereka tidak lagi membela kepentingan rakyat, tetapi lebih pada oligarki yang dianggap telah berjasa mengantarkan mereka meraih kursi kekuasaan.
Utang budi politik membuat wakil rakyat tidak berdaya untuk membela rakyat yang diwakilinya. Demo adalah bukti nyata wakil rakyat yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka tidak peka dan tanggap dengan suara rakyat yang sudah dibeli oleh oligarki. Mereka hanya melayani tuannya, dan lupa dengan janji-janji mereka sebagai wakil rakyat.
Saat rancangan UU yang tidak membela kepentingan rakyat hendak diterbitkan, suara rakyat menolak, tetapi jeritan mereka dianggap angin lalu. UU yang tidak berpihak pada rakyat terus saja dilegalkan, meskipun secara legal formal cacat hukum, bertentangan dengan UUD. Sebagai contoh nyata, disahkannya UU Cipta Kerja yang diprotes banyak kalangan karena sangat merugikan rakyat.
Saat banyak penyimpangan terjadi di negeri ini, rakyat bersuara dan melakukan demo. Namun, wakil rakyat seolah tidak peduli dan menutup mata dan telinga. Rakyat butuh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan, tetapi wakil rakyat tidak mau memperjuangkannya.
Rakyat sering diperlakukan tidak adil oleh penguasa, tetapi wakil rakyat tidak datang untuk membela. Tuduhan radikal, intoleran, anti kebhinekaan, bahkan makar dan terorisme sering tidak berdasar. Banyak rakyat yang dikriminalkan, bahkan dihukum tanpa proses peradilan, tetapi di mana wakil rakyat yang dulu menjelang pemilu berjanji untuk membela?
Mereka asyik menikmati berbagi kue kekuasaan dengan penguasa. Saat rakyat menggugat penguasa, dianggap menyebar hoaks dan menyebarkan ujaran kebencian sehingga bisa ditangkap tanpa proses peradilan. Sementara, penguasa bebas menghasilkan kebohongan tanpa bisa disalahkan dan diproses hukum.
Lalu, untuk apa mereka duduk di kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat jika tidak mau memperjuangkan urusan rakyat? Demo berjilid-jilid adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak lagi peka mendengar aspirasi rakyat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri agar bisa merasa aman menduduki kursi kekuasaan. Mereka juga menganggarkan uang rakyat hanya untuk kesejahteraan mereka sendiri.
Saat rakyat disakiti dan diperlakukan tidak adil seperti yang terjadi pada tragedi Morowali, apakah wakil rakyat bereaksi untuk membela rakyat yang terzalimi?
Kebijakan yang membiarkan banyak tenaga kerja asing membanjiri negeri ini, menghilangkan peluang bagi penduduk lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Membiarkan sumber daya alam dikuasai swasta asing adalah bentuk penjajahan gaya baru yang memberi karpet merah bagi asing untuk menguasai negeri ini dengan dalih investasi. Satu persatu sumber kekayaan alam yang bisa menyejahterakan rakyat diserahkan pada swasta asing.
Lalu, apakah wakil rakyat harus diam saja melihat hak-hak rakyat dirampas dan tidak dipenuhi oleh penguasa zalim?
Jangan merasa aman dan enak-enakan menikmati semua fasilitas yang diperoleh dari tetesan keringat rakyat. Ingatlah, pengadilan akhirat yang akan meminta pertanggungjawaban mereka sebagai wakil rakyat yang tidak amanah. Mereka tidak memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat yang seharusnya berpihak, membela, dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya menjadi stempel yang selalu mendukung apa kata penguasa.
Saat keyakinan umat dihina dan dinistakan, mereka tidak peduli. Saat aksi pembakaran Al-Qur'an oleh Paludan di Swedia menyakiti hati mayoritas rakyat yang beragama Islam di negeri ini, wakil rakyat terdiam seribu bahasa dan tidak melakukan tindakan apa-apa. Mereka menutup mata, telinga dan menganggap itu bukan urusan mereka.
Rakyat marah dan turun ke jalan dengan melakukan aksi demo. Ini adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tidak peka dengan apa yang dirasakan oleh rakyat. Saat hati rakyat tersakiti, wakil rakyat tidak merasa sakit, seolah mereka sudah mati rasa dengan apa yang dirasakan rakyat yang diwakilinya. Lalu, untuk apa mereka duduk di kursi parlemen, jika hanya menghabiskan uang rakyat, tetapi tidak perduli dengan urusan rakyat.
Demo, aksi turun ke jalan adalah ungkapan rasa tidak puas dari rakyat yang harus didengar, diperhatikan, dan diperjuangkan. Aksi demo jangan dimusuhi dengan tuduhan radikal dan pembuat kegaduhan, tetapi harus didengar dan dipahami untuk diperjuangkan dan diwujudkan. Aksi turun ke jalan bukanlah keinginan, tetapi tuntutan agar mereka yang duduk di kursi kekuasaan ingat dengan kewajibannya mengurusi urusan rakyat.
Hanya dengan satu cara agar rakyat terjamin keamanan, keadilan, dan kesejahteraan, yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. Terbukti hukum buatan manusia hanya menguntungkan segelintir orang yang ada di lingkaran kekuasaan dan juga para pemilik modal, bukan seluruh rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45.
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (Al-Maidah ayat 50).
Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media