Tinta Media - Sungguh ironis, saat generasi bangsa ini belomba-lomba meraih prestasi, masih ada saja oknum pelajar yang mencoreng dunia pendidikan. Mulai dari sekelompok pelajar yang menganiaya seorang nenek yang sedang berjalan kaki beberapa waktu yang lalu, pelajar SMA yang melakukan kekerasan atau bullying terhadap seorang pemuda berkebutuhan khusus, dan masih banyak yang lain.
Setiap tahun, kasus bullying mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya 119 kasus perundungan terhadap anak. Jumlah ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar pada 30 sampai 60 kasus pertahun. Sedangkan dalam tahun 2022, terdapat 226 kasus yang telah terjadi. Sungguh angka yang fantastis sekali.
Bagaimana bisa hal ini terjadi pada genarasi penerus bangsa? Mereka seharusnya berlomba-lomba mencetak prestasi dan mengukir masa depan yang cerah. Namun, masa-masa emas itu malah ternodai dengan kekerasan yang mereka lakukan.
Meski di bawah umur, pelaku bullying tetap dikenai undang-undang pidana. Pasal yang menjeratnya antara lain adalah pasal 351 KUHP tentang Tindak Penganiayaan, pasal 170 KUHP tentang Pengoroyokan, pasal 310 dan pasal 311 KUHP tentang Perundungan yang dilakukan di Tempat Umum dan Mempermalukan Harkat Martabat Seseorang.
Menurut humas RSJD Dr. Amino Gondohutomo, perundungan atau bullying adalah perilaku agresif dengan bentuk kekerasan spesifikasi yang bertujuan untuk menyakiti atau mengganggu, terjadi berulang atau potensial terulang dan kekuatan antara korban dan pelaku tidak seimbang.
Bullying atau perundungan bisa berupa fisik maupun verbal. Contoh bullying berupa fisik adalah menendang, memukul, menginjak dan menampar, sedangkan kalau verbal berupa kata-kata kotor, umpatan, makian yang menyinggung hati korban.
Kasus bullying jarang sekali terungkap, karena koban merasa diancam, malu ataupun takut. Pelaku yang memiliki kekuatan lebih besar daripada korban, menyebabkan korban tidak berani menceritakan kekerasan yang dialaminya. Hal ini membuat pelaku leluasa dan terus melakukan aksinya. Sangat disayangkan, pelaku yang rata-rata pelajar ini memilki sifat beringas, kasar, dan tidak memiliki belas kasihan.
Bagaimana pelaku ini dididik? Kenapa pelaku seolah-olah tidak memiliki hati nurani?
Banyak faktor penyebab terjadinya bullying. Salah satunya adalah tontonan kekerasan 'yang tidak sesuai rating pada umur'. Saat ini anak-anak tidak bisa lepas dari media sosial. Sayangnya, di media sosial terdapat banyak sekali tontonan atau konten kekerasan dan pornografi yang bisa diakses dengan mudah. Hal ini disebabkan tidak adanya perlindungan dari pemerintah. Seharusnya pemerintah melakukan pengawasan yang ketat dan pemblokiran terhadap akun-akun tersebut, sehingga orang tua merasa aman jika anak-anak menggunakan teknologi digital, seperti internet.
Selain itu, faktor penyebab bullying bisa datang dari sekolah. Longgarnya pengawasan dari pihak sekolah memberikan angin segar bagi pelaku untuk melakukan aksinya. Kadang, ada juga sekolah yang mengangnggap bullying itu kenakalan remaja pada umumnya dan diwajarkan. Mereka saling bercanda yang suatu saat akan berteman seperti sediakala.
Apa pun itu, perbuatan yang menyakiti secara fisik ataupun verbal tidaklah dibenarkan. Seharusnya pihak sekolah memiliki pandangan yang sudah dijelaskan tadi, bukan menganggap hanya kenakalan remaja pada umumnya.
Jika sekolah mengetahui adanya tindak perundungan, mereka tidak akan mengusut serta menyelesaikannya, tetapi yang ada akan berusaha menutupi dari lingkungan luar sekolah. Pihak sekolah tidak mau nama sekolahnya tercemar sehingga berakibat buruknya citra sekolah. Bagaimanpun caranya, sekolah berusaha menjaga nama baik agar tidak kehilangan anak didik.
Yang terakhir adalah keluarga. Keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak. Ada kalanya orang tua abai terhadap anak karena sibuk bekerja. Tuntutan ekonomi memaksa orang tua harus bekerja dan membiarkan anaknya lepas dari pengawasan. Hal inilah yang menyebabkan perhatian ke anak menjadi berkurang. Akibatnya, hubungan mereka menjadi renggang.
Orang tua sepenuhnya menyerahkan pendidikan anak ke pihak sekolah, terutama dalam hal pendidikan agama. Mereka meyakini, dengan menyekolahkan di sekolah agama, orang tua tak perlu lagi mendidik anaknya, karena pihak sekolah tentu sudah mendidik dengan baik. Tidak ada pengawasan dari orang tua membuat anak bebas melakukan apa saja, termasuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya di luar rumah
Untuk mengurangi kasus bullying, pemerintah, sekolah, dan keluarga harus bersinergi dalam meciptakan generasi yang kuat dan berakhlak. Hal ini tidak bisa terbentuk jika salah satu lini saja yang bekerja. Dengan meningkatnya kasus bullying, ketiga faktor tersebut telah gagal menciptakan generasi yang tangguh dan berbudi luhur. Sungguh sangat disayangkan, bukan?
Seharusnya orang tua dan sekolah harus bersinergi dalam mendidik anak. Begitu juga dengan pemerintah, harus tegas dalam pengawasan digital. Jangan mementingkan keuntungan ekonomi semata.
Selama sistem kapitalis yang digunakan di negeri ini tidak diganti, kasus bullying akan susah ditekan. Pengambilan keputusan atau kebijakan tentu lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan.
Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan. Aturan dalam Islam berdasarkan kemaslahatan, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Anak yang sudah akil baliq harus bertanggung jawab dengan apa yang diperbuatnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali perbuatan tersebut.
Dalam Islam, negara atau pemerintah harus memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, serta melakukan pengawasan akun atau konten media sosial yang merusak akidah dan akhlak, sehingga terciptanya penggunaan digital yang aman terutama untuk anak.
Sementara itu, sekolah juga harus memberikan pendidikan terbaik kepada anak didiknya. Pemerintah juga harus bersikap adil dan terbuka dalam setiap penanganan kasus yang terjadi di lingkungan sekolah.
Jika sistem Islam ini diterapkan, insyaaallah kasus bullying akan mengalami penurunan, bahkan hilang.