Tinta Media - Naik kereta api...tut..tut..tut. Siapa hendak turut. Kira-kira gitu ya gaes lagu naik kereta api. Kata “hendak turut” dalam lagu tersebut bermaksud untuk bertanya kepada orang lain “siapa yang hendak ikut naik kereta api”. Tapi lain halnya gaes dengan proyek yang sedang dijalankan pemerintah saat ini. “Hendak turut” dalam proyek ini bermaksud untuk menanyakan sumber anggaran mana lagi yang hendak dikucurkan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
KCJB adalah proyek berada di bawah naungan PT Kereta Cepat Indonesia Cina atau KCIC. Perusahaan ini merupakan hasil kerjasama antara konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang menguasai saham sebesar 60% dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR, Co. Ltd. sebesar 40%. Konsorsium Indonesia sendiri terdiri dari empat perusahaan yaitu Wijaya Karya sebagai pemegang saham paling tinggi yaitu sebesar 38%, PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT KAI masing-masing sebesar 25%. Kemudian, sisanya dipegang oleh Jasa Marga yaitu sebesar 12% gaes (katadata.co.id/ 17/02/2023).
Keputusan pemerintah dalam menentukan partner proyek ini sebenarnya tidak berjalan begitu mulus, penuh kebimbangan gitu gaes. Nah, setelah tarik ulur kesana kemari, akhirnya pilihan dijatuhkan pada pemerintah Cina karena pada saat itu, pemerintah Cina memberikan iming-iming bahwa proyek ini akan hanya membutuhkan anggaran US$5,13 miliar (Rp80,541 triliun) dan tidak akan menyerempet APBN. Dana yang ditawarkan Cina ini lebih rendah dibandingkan tawaran Jepang yang mencapai Rp245 Triliun.
Meskipun sudah mempunyai partner dalam membangun proyek ini, namun nyatanya pemerintah masih belum bisa bernafas lega. Karena anggaran proyek ini lambat laun mengalami pembengkakan menjadi US$6,07 Miliar, lalu menjadi US$7,5 Miliar atau setara Rp117,75 Triliun (kurs Rp15.700). Dengan adanya pembengkakan ini, proyek ini mau tidak mau harus dihentikan sementara gaes. Namun, baru-baru ini proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan dilanjutkan kembali loh gaes. PT KAI sudah berhasil mengantongi dana dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang nantinya dapat menyokong jalannya proyek ini. Padahal diawal kesepakatan pemerintah sepakat dengan Cina tidak akan menggunakan APBN sebagai sumber dana. Tetapi nyatanya uluran dana APBN juga tidak mampu menambal kekurangan dana proyek ini. Akhirnya pemerintah mengajukan hutang pada Cina Development Bank sebesar Rp8,3 Triliun (cnbcindonesia, 16/02/2023). Seperti kena prank kan gaes? Pemerintah sudah terlanjur senang dengan iming-iming Cina tapi ternyata negara semakin sengsara.
Menanggapi hal ini, Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal mengungkapkan bahwa pembengkakan biaya dalam proyek ini adalah akibat dari perencanaan yang buruk karena tidak ada perhitungan risiko dari awal gaes. Sehingga, katanya, pemerintah mau tidak mau dihadapkan pada pilihan yang sulit. Proyek ini akan berakhir pada hutang. Hutang dalam jangka pendek mungkin dapat mengatasi permasalahan APBN, namun dalam jangka panjang dapat membebani ekonomi baik dari sisi APBN ataupun rakyat. Padahal setelah COVID-19 hutang Indonesia sudahlah membengkak. Menurut Faisal, pemerintah seharusnya membebankan sebagian besar pembengkakan biaya tersebut kepada China karena mereka telah melakukan kekeliruan dalam kalkulasi awal. Tapi karena mungkin sudah mengalami kesulitan dalam negosiasi, akhirnya pilihan dijatuhkan pada hutang ke CDB. Jika hal itu yang menjadi opsinya maka perlu dilakukan negosiasi lebih lanjut dari sisi bunga karena bunga yang semakin besar akan menyebabkan pemerintah sudah pasti akan semakin merugi kan gaes (voaindonesia, 17/02/2023).
Berbeda dengan Faisal, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan bahwa pembengkakan biaya dalam pembangunan proyek infrastruktur lumrah terjadi. Meskipun demikian, Djoko mengaminkan proyek KCJB ini pada awalnya tidak dipersiapkan dengan matang gaes. Hal ini dimungkinkan karena banyak orang-orang di sekitar Presiden yang membisikkan keuntungan yang didapatkan negara dari proyek ini. Dari sisi peminjaman dana ia juga mengatakan, proyek ini seharusnya tidak membebani anggaran negara karena seharusnya bersifat business to business (voaindonesia, 17/02/2023).
Melalui hal ini kita dapat mengetahui bahwa KJCB ini dapat dikatakan sebagai proyek yang “grusa grusu” gaes. Bagaikan anak kecil yang diiming-iming penculik oleh penculik dengan polosnya dia akan menerima permen itu tanpa pikir panjang. Kita tak perlu heran gaes karena saat ini kita masih dalam cengkraman sistem kapitalisme. Sistem yang hanya mementingkan untung rugi. Sistem yang mementingkan kantong pribadi. Proyek ini diharapkan menjadi pundi-pundi rupiah, namun malah menjadi duri bagi negara.
Pertama, karena biaya yang terlanjur membengkak, proyek ini bisa saja terancam mangkrak gaes. Karena lebih dari 6 tahun sejak proyek ini direncanakan pada tahun 2016 dan ditargetkan akan selesai pada 2019, namun nyatanya molor hingga 2022.
Kedua, proyek ini membuat hutang negara semakin menumpuk. Hal ini sudah pernah disampaikan oleh Presiden bahwa proyek KJCB ini bukan bantuan dari negara lain, tetapi proyek pinjaman dari Pemerintah China. Kata pinjaman tentunya identik dengan hutang kan gaes?. Hutang tentunya harus dibayar. Dan sudah tidak menjadi rahasia bahwa hutang luar negeri akan membebani negara baik cicilan pokoknya maupun ribanya.
Ketiga, memaksakan proyek ini bagaikan mengaduk-aduk lumpur, karena semakin diaduk semakin berantakan. Sungguh, ambisi pemerintah ini bisa menjadi sia-sia.
Dengan adanya ketiga duri tersebut, apakah ada maslahat bari rakyat gaes? Rakyat malah hanya mendapatkan getah hutang yang membuat semakin sengsara. Siapa lagi yang akan membayar hutang jika bukan rakyat.
Setiap saat setiap waktu, rakyat dituntut untuk membayar pajak. Lebih mirisnya, uang negara yang notabenenya bisa menanggung kebutuhan publik malah ikut disedot untuk memenuhi ambisi proyek ini gaes.
Dalam sistem kapitalisme, transportasi dipandang sebagai salah satu sektor bisnis yang akan menambah keuntungan gaes. Sehingga, transportasi yang seharusnya menjadi kepemilikan umum beresiko dikuasai oleh individu. Tak hanya itu, fungsi transportasi dalam sistem ini juga bergeser dari pelayanan publik menuju keuntungan semata gaes. Kalaupun ada mekanisme pelayanan, hal itu bergantung pada harga yang dibayarkan. Semakin mahal harganya semakin baik fasilitas yang didapatkan begitu juga sebaliknya.
Hal ini tentunya berbeda dengan Islam gaes. Dalam Islam infrastruktur berstandar pada beberapa prinsip:
1. Dilakukan hanya demi kepentingan rakyat.
2. Pengelolaan dan pembiayaannya harus dilakukan oleh negara sendiri. Karena negara merupakan pengurus bagi rakyatnya.
3. Adanya pembangunan untuk meningkatkan pelayanan pada rakyat.
4. Perencanaan dilakukan dengan perhitungan yang matang terkait dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan dan masyarakat.
5. Pembangunan infrastruktur adalah wujud dari pelaksanaan syariat Islam Kaffah yang memadukan nilai ruhiyah, insaniyah dan khuluqiyah yang tidak akan berdampak pada kerusakan lingkungan.
Selain itu gaes, negara juga diharuskan untuk memperhitungkan skala prioritas pembangunan infrastruktur, hal ini terbagi menjadi dua jenis.
Pertama, infrastruktur yang penting dan mendesak. Infrastruktur ini harus segera dibangun karena jika ditunda akan menimbulkan bahaya bagi rakyat gaes. Misalkan di suatu desa belum memiliki sekolah tentunya ini akan berbahaya karena anak usia sekolah tidak akan bisa menimba ilmu. Dalam pengaturan mekanismenya, negara wajib membangunnya tanpa memperhatikan ada tidaknya dana di Baitul Mal. Jika saat itu dana Baitul Mal mencukupi maka negara akan menggunakannya, namun jika tidak maka negara akan memungut dharibah/ pajak dari masyarakat muslim yang kaya saja. Tidak seperti sistem saat ini dimana pajak dipungut setiap hari dan dibabat habis dari seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, infrastruktur yang penting tetapi tidak mendesak (bisa ditunda pengadaannya). Misalkan jalan alternatif menuju kota tertentu. Ini tentunya kurang mendesak gaes. Selama jalan yang dilalui biasanya tidak terdapat kerusakan maka negara dan rakyat tetap dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dalam pembangunan, infrastruktur jenis ini harus disesuaikan dana yang ada di Baitul Mal. (Abdurrahman Al Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla).
Dari beberap hal diatas, kita dapat mengetahui bahwa proyek KJCB ini tidak mendesak dan tidak penting kan gaes. Lebih-lebih lagi sumber pembiayaan proyek ini bersumber dari hutang, tentu negara tidak boleh mengambil kebijakan ini. Utang berbuntut riba tidak hanya haram dalam Islam, namun juga mengancam bagi kemandirian suatu negara.
MasyaAllah, begitu sempurna aturan yang datang langsung dari Dzat Yang Maha SegalaNya. Urusan meludah saja terdapat aturannya, apalagi urusan besar seperti periayahan negara. Sudah saatnya penguasa negeri ini move on dari sistem kapitalisme ya gaes. Sistem yang hanya mementingkan kantong-kantong para kapitalis. Menuju sistem yang tidak hanya membawa rahmat bagi manusia, tapi juga rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’alam bi shawwab.
Oleh: Ananda, S.T.P.
Sahabat Tinta Media