Tinta Media - Belum lama ini dunia dihebohkan oleh politisi ekstrim Rasmus Paludan yang membakar Al-Qur'an. Aksi biadabnya tersebut telah mengguncang reaksi umat Islam dan dikecam oleh sejumlah pemimpin tinggi dunia. Ini karena aksinya telah melukai umat Islam sedunia.
Penghinaan terhadap Al-Qur'an ini bukan yang pertama kalinya. Pelakunya adalah tokoh ekstremis anti-Islam, pendiri gerakan sayap kanan Denmark, Rasmus Paludan.
Dia (Rasmus Paludan), secara demonstratif membakar Al-Qur'an (kitab suci umat Islam). Tindakannya dilandasi oleh kebenciannya kepada Islam, sekaligus demi menyuarakan kebebasan berbicara.
Paludan juga berjanji akan membakar Al-Qur'an terus-menerus setiap hari Jumat sampai Swedia diterima menjadi anggota NATO. Aksi Paludan bukan yang pertama kalinya. Tahun 2019 dia membakar Al-Qur'an yang dibungkus daging babi.
Itulah sifat demokrasi, berdalih kebebasan berekspresi dan sangat dijunjung tinggi oleh negara-negara Barat. Menurut mereka, penghinaan, permusuhan terhadap Islam, seperti membakar Al-Qur'an merupakan kebebasan berpendapat dan bertingkah laku.
Maka, tidak aneh jika membakar Al-Qur'an, seperti yang dilakukan oleh Rasmus Paludan di Swedia, diizinkan dan dilindungi oleh kepolisian negara tersebut. Dalam kaca mata demokrasi, hak seperti itu tidak boleh dilarang, karena kebebasan adalah hal yang sangat prinsip dalam demokrasi.
Masih ingat di benak kita, saat majalah Charlie Hebdo menghina Nabi Muhammad saw. Kejadian ini terjadi di Perancis pada tahun 2020. Apa kata Presiden Perancis Emmanuel Macron?
"Di Perancis ada kebebasan menghujat yang melekat pada kebebasan hati nurani, saya di sini untuk menjaga kebebasan ini".
Namun, giliran umat Islam ingin mengekspresikan agamanya di Perancis, dilarang. Muslimah di Perancis tidak boleh menggunakan cadar di tempat umum. Mereka pun sulit untuk membangun masjid. Swedia sampai hari ini juga melindungi Yahudi dan ajarannya dari kritik dan serangan.
Tak heran, selama politik sekuler demokrasi berjalan, penistaan terhadap Islam akan berulang dan gerakan liberalisme akan selalu menyasar Islam.
Pembakaran Al-Quran dengan tujuan menghinakannya adalah dosa besar. Jika pelakunya itu muslim, maka ia telah kafir. Jika pelakunya orang kafir yang telah menjadi warga negara Islam orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka tindakannya tersebut telah membatalkan perjanjian dan hilang juga jaminan keamanan bagi pelaku, sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Demikianlah pendapat dari Iman Syafii (Ash-Shariim al-Masluul ala Syaatim ar-Rasuul Hlm13).
Terhadap negara-negara kafir yang mendukung dan melindungi para pelaku penistaan Al-Qur'an, kaum muslimin seharusnya memutus hubungan diplomatik, lalu mengancam untuk menyerang segala kepentingan mereka.
Sejarah mengatakan, di masa kejayaan Islam, yaitu ketika Sultan Abdul Hamid 2 berkuasa, beliau mengultimatum Inggris dan Perancis yang saat itu berkehendak memberikan izin pementasan drama yang menghina Nabi Muhammad saw. Pemerintah Inggris dan Perancis menjadi ketakutan lalu membatalkan pementasan drama tersebut. Semestinya sikap para pemimpin dunia Islam seperti itu.
Dengan demikian, tidak ada lagi negara kafir yang berani menistakan agama Islam. Inilah pentingnya kaum muslimin memiliki kepemimpinan layaknya perisai pelindung agama.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.,
"Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai, Orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya." (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kita begitu marah melihat orang-orang kafir membakar Al-Qur'an, tetapi mengapa kita hanya diam melihat hukum-hukum Al-Qur'an dicampakkan? Bukankah ini juga kemungkaran dan dosa besar?
Firman Allah Swt.,
"Siapa saja yang tidak berhukum pada apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah kaum kafir." (TQS al-Maidah:44)
Wallahualam bissawab.
Oleh: Titien Khadijah
Sahabat Tinta Media