Tinta Media - Aktifis Pemuda Sukabumi Hisyam memberikan tanggapannya terkait adanya rekomendasi untuk meninggalkan Fiqih klasik dan diganti Fiqih baru yang berasas pada Piagam PBB.
“Bunyi rekomendasi yang berasas pada Piagam PBB adalah pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara Khilafah. Ini menunjukkan tiga hal yaitu pertama, Khilafah memang bukan sesuatu yang baru, apalagi dianggap tak ada di dalam kitab-kitab fiqih para ulama. Kedua, Khilafah bukan pendapat baru dari ormas atau kelompok tertentu. Ketiga, Khilafah maujud (ada) dan ma’lum (dikenal) dalam khasanah fiqih lama (baca : kitab fiqih ulama salaf)," tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Rabu (8/2/2023).
Pada poin rekomendasi berikutnya : “Cita-cita mendirikan kembali negara Khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim...” Sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan negara ISIS….”
Ia menilai rekomendasi ini menunjukkan adanya gagal paham terhadap khilafah di mana memandang Khilafah berhadap-hadapan dengan non muslim. “Jelas mereka gagal memahami sejarah Khilafah yang justru mampu memberikan keamanan kepada semua manusia, bukan hanya muslim tapi juga non muslim.
Pendapat yang disampaikannya, ia tegaskan bukan sekedar klaim sejarahwan muslim saja, tapi sejarahwan Barat pun mengakuinya. Sebagai contoh Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization, menuliskan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas”.
Di bagian lain yang memandang ISIS sebagai Khilafah, Hasyim juga menilai mereka gagal faham (lagi) tentang hakikat khilafah yang syar’i yang sesuai manhaj kenabian. “Mereka yang menyamakan perjuangan Khilafah dengan munculnya ISIS adalah mengikuti opini Barat yang ingin membuat stigma buruk terhadap Khilafah,” ujarnya.
Terkait rekomendasi : “...usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara Khilafah, nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama…”, Hasyim mempertanyakan apakah lima prinsip syariah : menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta, ini bisa diwujudkan oleh demokrasi?
“Bagaimana dengan pembantaian kaum muslimin di beberapa negara hari ini? Apakah ini yang disebut terjaganya nyawa? Bagaimana dengan pembakaran al-Quran yang senantiasa terulang, apakah ini yang dimaksud terjaganya agama? Bagaimana dengan sumber daya alam negeri ini yang banyak dikeruk asing apakah ini yang disebut terjaganya harta? Bagaimana dengan banyaknya remaja hamil di luar nikah, apakah ini yang disebut menjaga keluarga?” tanyanya lugas.
Belum lagi rekomendasi : “....cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam….”. Ini juga menimbulkan tanya dalam benaknya. “Apakah terbebasnya kaum muslimin Palestina dari kedzaliman Yahudi Israel harus dengan cara menyejahterakan Israel terlebih dahulu dan mengakui Israel itu adalah saudara?,” tanyanya retoris.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah. Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis; menurutnya ini benar-benar pernyataan yang rapuh.
Hasyim lagi-lagi mempertanyakan dengan pertanyaan beruntun: “Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak sempurna dan diakui masih mengandung masalah bisa dijadikan sebagai dasar yang paling kokoh untuk mengembangkan fiqih baru? Kenapa tidak berpijak pada fiqih klasik (baca: salaf) yang sudah jelas sumber rujukannya dan pasti lebih berkah? Kenapa justru fiqih klasik harus ditinggalkan dan diganti dengan fiqih baru yang berpijak pada piagam PBB yang bermasalah?”.
“Jadi berharap pada demokrasi akan lahir tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis serta tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia adalah sungguh khayalan dan halusinasi yang sangat parah,” pungkasnya.[] Erlina