9 Hakim Konstitusi Dilaporkan ke Polisi, IJM: Menunjukkan Bobroknya Sistem Peradilan - Tinta Media

Selasa, 07 Februari 2023

9 Hakim Konstitusi Dilaporkan ke Polisi, IJM: Menunjukkan Bobroknya Sistem Peradilan

Tinta Media - Menanggapi berita 9 hakim konstitusi dilaporkan ke polisi atas dugaan pemalsuan putusan MK, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. menilai bobroknya sistem peradilan saat ini.

"Jika berita itu benar, maka ini menunjukkan bobroknya sistem peradilan kita hari ini, setelah sebelumnya kita dikejutkan lagi dengan pemberitaan salah satu hakim agung yang terjerat OTT oleh KPK beberapa waktu lalu, karena diduga terlibat korupsi jual beli perkara," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (6/2/2023).

Menurutnya, merebaknya kasus hakim MK dilaporkan, artinya bangsa ini sudah seharusnya melakukan perombakan total dan lebih revolusioner terhadap sistem peradilan hari ini. “Karena rakyat bangsa ini tidak bisa lagi berharap mendapatkan keadilan serta persamaan hukum yang memadai dengan kebobrokan sistem peradilan yang semakin parah,” jelasnya.

Sjaiful berharap, seharusnya aparat kepolisian berani untuk menindak oknum hakim MK yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen, karena ini sudah jelas merupakan perbuatan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUH Pidana tentang pemalsuan dokumen. “Dalam pasal itu menyebutkan bahwa pemalsuan akta merupakan kejahatan atau tindak pidana maka pelakunya dapat dipenjara maksimal 8 tahun penjara,” paparnya. 

Menurutnya, akta otentik juga dapat ditafsirkan secara meluas kepada putusan pengadilan. “Maka saya menegaskan polisi harus berani memproses hukum oknum yang diduga memalsukan atau merubah isi keputusan MK tersebut,” tegasnya 

“Dari sini, maka polisi juga harus menggandeng Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk memproses oknum hakim yang diduga melakukan pemalsuan dokumen putusan MK tersebut,” tambahnya.

Ia menekankan kembali, polisi harus berani demi kepentingan penegakan hukum di negara ini yang menjunjung asas Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum bukan kekuasaan. Hanya yang menjadi soal ungkapnya adalah ketika institusi kepolisian sudah dintervensi kekuasaan atau oknum di lingkaran elit kekuasaan yang terkait dengan kepentingan terhadap Putusan MK tersebut. 

“Maka sangat sulit kita berharap keberanian aparat kepolisian untuk mencokok oknum hakim yang ditenggarai terlibat dalam pemalsuan dokumen putusan hakim MK tersebut,” ungkapnya.

“Sebab masyarakat, banyak yang menyadari saat ini bahwa aparat kepolisian sudah terjebak oleh intervensi kepentingan kekuasaan, sehingga beberapa kasus-kasus besar yang ada tidak ditangani oleh pihak kepolisian secara serius, malahan dibiarkan terbengkalai yang pada akhirnya dihentikan proses penyidikannya,” jelasnya lebih lanjut.

Inilah yang menjadi kekhawatiran Sjaiful, dengan kondisi kepolsian hari ini yang mungkin saja belum punya keberanian memproses hukum oknum hakim MK yang terlibat pemalsuan dokumen putusan MK tersebut. “Karena hendak melindungi kepentingan elit kekuasaan yang terkait baik secara langsung mapun tidak langsung dengan Putusan MK yang dibah tersebut,” ucapnya.

Sjaiful mengajak belajar pada banyak hakim MK yang terjerat mafia kasus, yang seharusnya para hakim MK tersebut merupakan penjaga konstitusi di negara ini. “Kita sebut saja contoh kasus, seperti pada 2013, Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK karena tertangkap menerima suap dan Akil Mochtar akhirnya dihukum penjara seumur hidup,” ungkapnya.
 
“Ada juga hakim konstitusi Patrialis Akbar, yang ditangkap karena suap pengurusan kuota impor daging sapi. Awalnya Patrialis Akbar dihukum 8 tahun penjara. Tapi hukumannya disunat setahun menjadi 7 tahun oleh MA,” paparnya.

Di zaman Ketua MK Mahfud Md, skandal pemalsuan juga muncul. Pemalsuan surat itu terkait sengketa pemilihan anggota DPR Andi Nurpati. Gara-gara skandal itu, hakim MK Arsyad Sanusi buru-buru mengundurkan diri. “Kasus itu hanya menyeret pegawai honorer MK, Masyhuri Hasan, dan dihukum 1 tahun penjara,” terangnya.

Supaya kasus ini tidak terulang lagi, ia menilai sebenarnya sangat mudah, yaitu mengubah secara revolusioner bangunan ideologi yang menyangga sistem peradilan saat ini. “Kita tahu bahwa sistem peradilan kita saat ini masih ditopang oleh ideologi kapitalisme dengan sekulerisme sebagai derivasinya,” tuturnya.

Dinilainya kapitalisme-sekuler telah meniscayakan bahwa produk hukum atau produk putusan pengadilan sejatinya dibangun atas dasar sebuah kompromi pragmatis dari kelompok elit. 

“Kompromi tersebut dihasilkan berdasarkan rasionalitas atau logika bebas dari para geng elit tersebut, sehingga dampaknya hukum yang lahir adalah berdasarkan kesimpulan subjektif para elitnya, inilah yang membuka peluang sehingga setiap putusan hukum yang lahir bakal mengakomodir kepentingan elit kekuasaan tertentu yang bersinggungan dengan misi putusan pengadilan tersebut,” nilainya.

Maka satu-satunya alternatif menurutnya adalah menjadikan fondasi ideologi hukum yang menopang sistem peradilan kita dikembalikan kepada nilai-nilai ideologi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dianut mayoritas bangsa ini yaitu nilai-nilai Ajaran Islam. 

“Ideologi Islam sangat menjamin peradilan yang independent dan adil serta tidak memihak kepada siapapun,” tegasnya.

Dijelaskannya, Nabi SAW pernah menyatakan bahwa kehancuran suatu bangsa adalah ketika hukum tidak ditegakkan secara adil, kalau kaum bangsawan atau kelompok elit di tengah masyarakat yang kedapatan mencuri, hukum tidak ditegakkan, sebaliknya kalau yang mencuri adalah kaum miskin, lemah dan tidak memiliki akses kekuasaan, hukum baru ditegakkan. 

Di sini Baginda Nabi SAW menegaskan demi Allah andaikata putriku binti Muhammad terbukti mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya. “Inilah letak keadilan sistem peradilan yang berbasis ideologi nilai-nilai Islam,” tandasnya. [] Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :