Tinta Media - Berkenaan dengan berbagai rangkaian peristiwa politik sepanjang 2022, Pakar Politik Dr. Riyan, M.Ag. mencatat ada dua peristiwa politik penting.
“Pertama, saya melihat isu yang sangat penting dan saya kira ini harus terus dianalisis berkaitan dengan apa yang saya sebut sebagai negara mafia,” tuturnya di acara Diskusi Media Umat: Indonesia Makin Dicengkeram Oligarki dan Semakin Sekuler Radikal, melalui kanal You Tube Media Umat, Ahad (8/1/2023).
Mulai dari mafia peradilan, mafia tanah, mafia minyak goreng, mafia tambang, mafia politik. “Mafia-mafia ini muncul karena negara kita semakin bergerak kepada bandul negara korporasi; perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha yang produk berbagai kebijakannya tidak pro rakyat, ”tandasnya.
Artinya, lanjut Riyan, negara ini sebenarnya sudah menjadi instrumen bagi segelintir orang untuk melakukan dominasi dalam output kebijakan sehingga politik rakyat tidak lagi menjadi subyek utama dalam pelaksanaan kebijakan.
“Kedua, kita bisa melihat produk politik tidak memiliki kualitas dalam memberikan kebaikan kepada publik. Saya ambil contoh IKN misalnya yang dulu katanya tidak ada pembebanan kepada APBN faktanya APBN terbebani biaya yang tidak sedikit,” jelasnya.
Contoh lain ucapnya, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta awalnya adalah proyek bisnis to bisnis ternyata sudah tekor sedemikian rupa dengan pembengkakan entah sampai berapa karena sampai saat ini belum ada kepastian.
Riyan juga menyoroti soal RUU Cipta kerja yang kontroversial justru diselesaikan dengan Perppu. “Tiga contoh kebijakan ini saja yaitu IKN, kereta cepat, Perppu Ciptaker ini adalah derivat negara mafia,” simpulnya.
Fakta-fakta di atas, menurutnya, akan menimbulkan politik kecemasan yang akan berlanjut pada 2023 karena berbagai upaya masyarakat tidak ada yang didengar oleh pemerintah. Riyan melihat masyarakat bawah akhirnya cuek terhadap masalah ini. Tetapi di tingkat kelas menengah ke atas ada banyak sekali kegelisahan yang bisa jadi mengarah pada pemakzulan.
“Sisi lain saya melihat ada banyak kalangan intelektual, cendekiawan, ulama yang justru melihat bahwa momen ini menjadi sebuah harapan dengan melakukan langkah-langkah membangun kesadaran baru bahwa apa yang terjadi ini merupakan produk dari sebuah sistem yang tidak berpihak kepada mereka,”ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya, muncul gagasan-gagasan untuk mendiskusikan bagaimana sistem yang lebih adil, lebih pro kepada rakyat, yang memberikan harapan bahkan tidak hanya harapan di dunia tapi juga di akhirat.
“Gagasan-gagasan itu kalau kita bangun terus, kita tumbuhkembangkan maka akan muncul gelombang kesadaran baru untuk meninggalkan korporasi kapitalisme menuju Islam,” paparnya penuh optimisme.
Ia menilai arah perubahan ke arah Islam semakin mendapatkan tempat di negeri mayoritas muslim ini.
“Harapan untuk menjadikan Islam sebagai alternatif, bahkan satu-satunya alternatif untuk keluar dari berbagai kerusakan yang dilakukan rezim dengan berbagai produknya tadi bisa dihadapi dengan optimis. Itulah politic of hope,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun