Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung berencana menjadikan lima kecamatan di Bandung Raya sebagai wilayah metropolitan, yakni wilayah Soreang, Katapang, Kutawaringin, Margahayu, dan Margaasih. Upaya pembangunan kawasan metropolitan ini diharapkan akan semakin menarik investor untuk berinvestasi demi pembangunan di Kabupaten Bandung. (PRFMNEWS/06/01/2023)
Seiring dengan pengesahan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) oleh Kementerian ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional), Bupati Bandung-Jawa Barat, Dadang Supriatna yakin bahwa perekonomian Kabupaten Bandung akan meningkat. Hal tersebut selaras dengan instruksi Presiden Joko Widodo tentang percepatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Pembangunan metropolitan ini didasarkan pada UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Tujuan dari perencanaan tata ruang ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisiensi dalam alokasi investasi, bersinergi, dan dapat dijadikan acuan dalam program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Sejauh mana pembangunan kawasan metropolitan ini akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan masyarakat manakah yang dimaksud tersebut?
Menurut Wacker man (2000), metropolitan merupakan kawasan perkotaan yang relatif besar, baik dari ukuran luas wilayah, jumlah penduduk, maupun skala ekonomi dan sosial. Secara etimologi, kata metropolitan atau metropolis berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu kata Meter yang artinya Ibu dan kata Polis yang artinya kota.
Adanya pembangunan metropolitan yang diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran dan memajukan perekonomian negara, tidak terlepas dari banyaknya permasalahan yang bermunculan di perkotaan. Bahkan, lembaga-lembaga dunia seperti PBB mempunyai bidang khusus yang membahas bagaimana mengantisipasi dan mencari solusi permasalahan-permasalahan perkotaan.
Metropolitan yang identik dengan pembangunan infrastruktur dan berjajarnya gedung pencakar langit sering kali menjadi tolak ukur kemajuan. Ini menjadi daya tarik bagi penduduk dari pedesaan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan.
Padatnya penduduk inilah yang menjadikan mobilitas di perkotaan sangat tinggi. Tak heran jika kita dapati jalanan di kota-kota besar selalu macet. Kemacetan ini pula yang berdampak pada kerugian ekonomi, juga pada penurunan kesehatan karena stress serta polusi udara.
Fasilitas pendidikan banyak didirikan, tetapi tidak sedikit yang sulit mengenyam bangku sekolah. Generasi yang berpendidikan, bahkan yang mengenyam pendidikan tinggi, malah berujung menjadi budak korporasi dan minim moral, bahkan banyak juga yang akhirnya menjadi pengangguran.
Begitu pula tren atau gaya hidup komsumtif dan hedonis metropolitan, yang menjadi ciri khas masyarakat di kota-kota besar, sekarang sudah merebak ke kota-kota kecil, di tengah tingkat kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Hal ini sering menimbulkan kesenjangan sosial yang berdampak pada masalah mental, semisal tindakan kriminalitas, atau penyakit sosial lainnya, semisal prostitusi dan sebagainya. Kebanyakan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk bertahan hidup.
Belum lagi permasalahan sampah yang selalu menjadi pemandangan di tiap sudut kota metropolitan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan bahwa produksi sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari. Hal ini pun berdampak pada kebersihan air-air sungai yang kotor dipenuhi sampah, dan berujung banjir saat musim hujan jika tidak tertangani dengan baik.
Berkurangannya lahan pertanian akibat dari ramainya pembangunan cluster-cluster pemukiman, perindustrian, perhotelan, tempat hiburan, dan lain sebagainya, menjadikan tata ruang hijau berkurang dan ketersediaan bahan-bahan pangan pun berkurang, hingga pemerintah melakukan kebijakan dengan impor.
Di balik eksisnya pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh pembangunan infrastruktur, lahirklah ketimpangan ekonomi, yakni munculnya permukiman kumuh.
Di tengah kemajuan fisik, dekadensi moral merebak, dan penyimpangan perilaku semakin memprihatinkan. Kehancuran keluarga dengan maraknya perceraian, menjadi fenomena biasa, yang pasti akan melahirkan masalah turunan lainnya.
Inilah potret kota metropolitan dengan segunung permasalahan, yang hingga sekarang masih belum terselesaikan, bahkan semakin parah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sistem hidup yang dijadikan aturan, termasuk dalam tata kota dan tata ruang yang sangat kapitalistik-sekularistik.
Inilah perencanaan pembangunan metropolitan yang mengikuti pola masyarakat Barat, yaitu sistem kapitalis yang diterapkan di negeri ini. Kemajuan dan kebangkitan hanya dinilai dari kemajuan pembangunan fisik dan materi, tanpa melihat akibat yang ditimbulkan. Apalagi, pembangunan ala kapitalisme ini sarat dengan kepentingan kaum pemilik modal (kapitalis) yang dimenangkan, dan meminggirkan kemaslahatan masyarakat banyak.
Jika kita melihat sejarah kehidupan manusia, sebenarnya kita dapat menemukan kemajuan masyarakat seiring dengan ketinggian moralnya, yaitu masyarakat Islam. Setiap individu rakyat terjaga pemenuhan kebutuhannya, baik kebutuhan naluri maupun jasmani, sehingga masyarakat hidup sejahtera dalam setiap aspeknya.
Salah satu potret kota metropolitan ini adalah Cordova yang menjadi mercusuar metropolitan yang berhasil menyejahterakan masyarakat dengan aturan Allah Swt.
Pada pertengahan abad ke-4 Hijriyah atau 10 Masehi, Cordova seakan menjadi kota metropolitan yang menandingi kota-kota dunia di waktu yang sama. Hal ini tercermin dalam sistem pendidikannya. Sekolah-sekolah tumbuh subur untuk mendidik manusia.
Cordova adalah kota yang memiliki koleksi buku terbanyak, serta menjadi pusat kebudayaan dan berbagai macam ilmu pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan khusus dan umum tersebar di mana-mana. Orang-orang fakir Cordova bisa mengenyam pendidikan di berbagai sekolah secara gratis, karena dibiayai oleh pemerintah atau negara.
Tidak aneh ketika kita mengetahui semua penduduk Cordova mampu membaca dan menulis. Berbeda dengan elite bangsa Eropa yang pada waktu itu belum bisa membaca dan menulis, kecuali para tokoh agamanya.
Peradaban Cordova pada saat itu juga disertai kebangkitan sistem administrasi dan perkantoran, yaitu melalui beberapa lembaga dan sistem-sistem hukum yang berlaku, seperti kepemimpinan dan kementerian, sistem peradilan, kepolisian, hisbah (polisi syariah) dan lainnya.
Bidang perindustrian pun tidak ketinggalan dalam kebangkitan yang besar, seperti pesatnya industri kulit, perkapalan, alat-alat pertanian, obat-obatan, juga emas, perak, dan tembaga.
Adapun kehidupan perkotaan, kita melihat bahwasanya di sana terbagi menjadi lima kota, seperti lima kawasan besar yang masing-masing dibatasi oleh pagar besar dan kokoh laksana benteng. Setiap kawasan berdiri sendiri dan memiliki pemandian umum, pasar, industri, dan sebagainya yang mencukupi jumlah penduduknya.
Jumlah penduduk Cordova pada masa itu sekitar 500.000 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Cordova sekarang sekitar 325.000 jiwa.
Imam Al Muqri menguraikan data-data pembangunan di kota Cordova. Masjid-masjid kota Cordova pada masa Abdurrahman Ad-Dahil mencapai 490 masjid, kemudian setelah itu bertambah menjadi 3.837 masjid. Rumah rakyat mencapai 213.077 buah. Rumah kaum ningrat mencapai 60.300 buah. Pertokoan dan sejenisnya mencapai 80.455 buah. Pemandian umum mencapai 904 buah dan lapangan umum mencapai 28 buah.
Penduduk Cordova hidup dalam kesejahteraan luar biasa dan diliputi suasana keimanan, hingga mampu menjadi mercusuar pendidikan di Benua Eropa, bahkan dunia. Peradaban Cordova banyak melahirkan sosok pemimpin, ulama, ilmuwan, bahkan menjadi salah satu kota metropolitan Daulah Khilafah yang sangat tidak mungkin untuk disaingi oleh kota metropolitan mana pun sepanjang sejarah sistem kapitalisme.
Cordova merupakan gambaran tata kelola sebuah negara yang menggunakan sistem Allah. Rakyat terjamin kesejahteraannya. Pertambahan populasi bukan hanya dari sisi kuantitas, tetapi kualitas generasinya diperhatikan.
Sementara, kota metropolitan hari ini hanya covernya yang dirawat, tetapi mental masyarakatnya sungguh kurang terawat.
Ini hanya sedikit fakta dari banyaknya fakta tentang kesejahteraan kehidupan insan di bawah naungan sistem Islam, yakni ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah di semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya.
Maka, sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita menjadikan Islam dengan segala kesempurnaannya, sebagai standar kehidupan, termasuk dalam membentuk kehidupan masyarakat, yang tidak sekadar baik di dunia, tetapi juga diridai oleh Allah Swt.
Wallahu'alam bish shawab
Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media