Pamong Institute: Perpanjangan Masa Jabatan Kades Bertentangan dengan UU Desa - Tinta Media

Minggu, 29 Januari 2023

Pamong Institute: Perpanjangan Masa Jabatan Kades Bertentangan dengan UU Desa

Tinta Media - Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari 6 tahun menjadi 9 tahun dinilai oleh Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky bertentangan dengan Undang-Undang Desa.
 
“Kalau kita lihat perpanjangan masa jabatan kepala desa bertentangan dengan Undang-Undang Desa. Karena Undang-Undang Desa mengamanahkan dengan tugas selama 6 tahun,” ungkapnya di acara Bincang bersama Sahabat Wahyu: Perpanjang Kades 9 Tahun, Presiden Diperpanjang Juga? melalui kanal You Tube Jakarta Qolbu Dakwah, Rabu (15/1/2023).
 
Dalam sistem demokrasi, untuk bisa mengubah masa jabatan harus mengubah undang-undang dan itu butuh waktu lama, meski dalam konstitusi diberi ruang untuk membuat Perppu. “Saya lihat di era Jokowi ini banyak mengeluarkan Perppu dan menurut saya ini menunjukkan kepemimpinan lagi belajar diktator, ingin mengeluarkan undang-undang sendiri,” kritiknya.
 
Menurut Wahyudi, ini merupakan praktek pemerintahan yang buruk dan semestinya harus cepat  dikoreksi. “Mental memperpanjang kekuasaan ini merupakan watak Fir’aunisme,” tukasnya.
 
Wahyudi menilai motif memperpanjang jabatan ini yang paling nampak adalah motif kekuasaan bukan motif memperpanjang pelayanan, meningkatkan kesejahteraan atau membentuk pemerintahan yang baik.
 
“Nah kalau menurut saya ini menjadi persoalan serius karena motifnya bukan motif memperpanjang peningkatan pelayanan,  juga bukan motif meningkatkan kesejahteraan rakyat atau membahagiakan rakyat tapi motifnya memperpanjang kekuasaan yang sedang dimiliki,” tandasnya.
 
Meski demikian Wahyudi berpendapat persoalannya bukan pada panjang atau pendeknya jabatan tapi dampak dari jabatannya itu apakah berdampak positif atau negatif bagi rakyat.
 
“Kalau dia seorang pemimpin yang amanah, profesional, memimpin dengan baik maka rakyatnya akan mendapat pelayanan yang baik, kesejahteraan yang baik, perlindungan yang baik. Dan kalau itu diperpanjang lebih bagus. Tapi yang jadi masalah kalau pemimpin yang terpilih itu dia buruk, tidak amanah, tidak cakap, tidak profesional, kalau ini diperpanjang maka penderitaan rakyat akan makin panjang,” bebernya.
 
Kuncinya kata Wahyudi terletak pada kewenangan siapa yang membuat aturan atau undang-undang. “Semestinya hukum itu jangan diserahkan kepada manusia yang punya watak lemah dan punya tingkat kepentingan yang tinggi.  Seharusnya  hukum itu diserahkan kepada pihak yang memang  tidak punya kepentingan atau tendensi  terhadap kepentingan masing-masing sehingga betul-betul adil hukumnya.  Itulah hukum yang  diturunkan oleh Sang  Pencipta alam semesta dan manusia yaitu Allah Swt.,” bebernya.
 
Demokrasi jelas Wahyudi memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat hukum sendiri, maka kepentingan manusia akan mendominasi. Manusia diberikan kewenangan untuk menentukan baik buruk, benar salah, boleh dan tidak boleh.
 
“Pemerintah yang  punya kekuasaan, cenderung ingin mempertahankan dan memperpanjang  kekuasaannya meski harus menabrak aturan yang dibuatnya sendiri. Ini bukan sistem kondusif untuk menciptakan keadilan,” ungkapnya.
 
Islam
 
Wahyudi menuturkan kalau dalam sistem pemerintahan Islam yang  pernah berjalan, terdapat pimpinan wilayah, pimpinan daerah, pimpinan desa, namun tidak ada masa jabatan tertentu. “Mereka ditentukan dan diangkat oleh khalifah. Jika ada komplain dari majlis wilayah atau masyarakat  maka khalifah akan mengganti. Cara ini lebih hemat, efisien, optimal dan tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat,” paparnya.
 
Inilah bedanya dengan sistem demokrasi. Rakyat punya kekuasaan  tapi rakyat tidak berdaulat karena rakyat tidak boleh membuat hukum, membuat norma yang yang menentukan benar dan salah. Rakyat harus tunduk pada norma Kitab Suci.
 
“Kalau dalam sistem demokrasi  kedaulatan tertinggi bukan di Kitab Suci, tetapi di suara rakyat  yang pada faktanya hanya suara segelintir rakyat yang disebut oligarki. Mereka bisa membuat undang-undang,  mengatur undang-undang dan menentukan kepentingannya masing-masing,” kritiknya.
 
Oleh karena itu Wahyudi menilai kalau ingin membuat pemerintahan yang baik, yang bersih, yang efisien, tidak bisa dengan sistem demokrasi tapi harus dengan sistem Islam. Setidaknya ada dua alasan. “Pertama , terkait sumber daya manusia  Islam menetapkan seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin, bersih, amanah. Kedua, sistem politik dan sistem hukumnya ideal, murah tapi efisien serta mencegah terjadinya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Kalau ini diterapkan sebuah negeri bisa maju dan menjadi adidaya,” yakinnya.
 
Terakhir Wahyudi berpesan agar umat Islam berupaya memperbaiki sistem yang berlaku hari ini dengan menawarkan sistem yang lebih baik yaitu sistem yang berasal dari Dzat Yang Maha Baik yaitu Allah Swt. [] Irianti Aminatun
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :