Tinta Media - Kasus suap di negeri ini masih terus terjadi. Mirisnya lagi, dugaan suap juga dilakukan oleh penegak hukum. Bagaimana keadilan bisa dijalankan jika hakim saja menjadi tersangka kasus suap?
Dilansir dari BBC News Indonesia (20/12/2022), seorang hakim yustisia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Bahkan EW langsung ditahan lembaga antirasuah pada hari senin (19/2).
Hal ini tentu menjadikan masyarakat hilang kepercayaan pada penegak hukum. Karena pada realitanya rekayasa hukum itu nyata adanya. Bertambahnya tersangka kasus dugaan suap ini menunjukkan kasus suap semakin menggurita di tubuh MA. Selain kasus suap. KPK juga menangkap tangan hakim dibeberapa daerah terkait korupsi.
Kapitalisme menyuburkan Korupsi
Seolah tidak ada solusi. Kasus korupsi di negeri ini terus berulang. Bahkan seolah tidak terkendali. Mirisnya kasus korupsi dan suap kini menimpa hakim penegak hukum. Kasus pelanggaran penegak hukum begitu mulus terjadi.
Menurut peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman, ia mengatakan korupsi peradilan ini sudah menggurita sejak zaman dulu, bahkan jauh sebelum reformasi 1998. bbc.com (20/12/23)
Hal ini menyadarkan kita, bahwa sejak awal sistem peraturan yang dibuat di negara ini belum mampu memberikan keadilan. Keadilan seolah barang tabu dan sulit diwujudkan. Padahal keadilan ini penting diterapkan. Apalagi terkait putusan hakim dalam memberikan ketetapan hukum. Ketika setiap pelanggaran yang dilakukan rakyat akan selesai saat diberi hukuman oleh hakim. Bagaimana pelanggaran bisa hilang jika hukum begitu mudah diperjualbelikan.
Inilah hukum buatan manusia. Prosesnya bisa direkayasa. Aturannya bisa diubah sesuai kehendak dan hawa nafsu belaka. Bahkan hukum seolah hanya berlaku bagi rakyat melata. Sedangkan bagi pengusaha dan pejabat negara seolah bisa direkayasa. Asalkan ada uang, semua kasus menjadi aman.
Padahal penegakan hukum ini penting. Agar pelaku kriminal bisa jera. Agar kejahatan tidak terus berulang. Sehingga keamanan bisa dirasakan masyarakat.
Sebagaimana hukum Islam yang Allah turunkan begitu sempurna dalam peradilan. Hukum yang diberlakukan oleh Islam bukan hanya sebatas pada pelaku kejahatan saja. Tapi kemaslahatannya berlaku juga bagi negara dan masyarakat. Karena hukum itu haruslah berpihak kepada semua lapisan.
Misalnya, hukum harus berpihak kepada masyarakat. Masyarakat merasa terlindungi. Cara Islam dalam melindungi masyarakat agar tidak terkena hukum adalah adanya pencegahan (jawazir). Pencegahan ini bisa direalisasikan saat hukuman bagi pelaku tindak kejahatan dihukum dengan Islam. Seperti hukuman yang Allah berlakukan bagi pelaku pencurian adalah dipotong tangannya. Hukuman ini akan menjadikan masyarakat berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan pencurian. Sehingga pencegahan tindakan pencurian yang dilakukan masyarakat bisa terwujud.
Hukum juga berpihak kepada pemerintah. Jika hukum itu tegas diterapkan. Maka pelaku tindak kejahatan akan berkurang. Hal ini tentu mengurangi beban negara. Saat ini penjara begitu penuh. Beban negara dalam menjamin kehidupan narapidana semakin bertambah. Kapasitas lapas di Indonesia terus bertambah. Padahal lapas hanya menampung 90.000, tapi saat ini orang yang dipenjara lebih dari 300.000. Sehingga negara over load, harus mengeluarkan 2 triliunan untuk makan mereka.
Selanjutnya, dalam Islam, hukum itu harusnya berpihak kepada korban. Kalau dalam hukum jinayat, korban bisa menuntut balas walau ada peluang untuk memaafkan dengan cara bayar diyat. Sedangkan di sistem Kapitalis peluang itu tidak ada.
Hukum pidana Islam juga berfungsi sebagai jawabir. Artinya jika manusia dihukum di dunia, maka dia yakin jika dia ikhlas menerima hukuman maka akan jadi kafarat bagi hukuman di akhirat.
Hukum pidana Islam jika diterapkan pada pelaku korupsi dan suap, maka kasus yang serupa tidak akan terulang lagi. Walalahu alam
Oleh: Teti Rostika
Sahabat Tinta Media