Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menegaskan bahwa pihak yang menuduh beberapa web Islam disebut pro radikal dan teroris karena konsisten mendakwahkan khilafah, justru dialah yang sekuler radikal dan anti intelektual.
“Pihak yang menyatakan beberapa web Islam (yang konsisten mendakwahkan khilafah) disebut pro radikal dan teroris, justru pihak tersebut yang memiliki paham sekuler radikal dan anti intelektual,”
tegasnya kepada Tinta Media, Selasa (10/1/2023).
Menurutnya, ada beberapa poin yang dikritisi terkait pernyataan dari pihak tersebut, yakni:
Pertama, pihak tersebut tidak mewakili ajaran Islam namun mewakili ajaran sekularisme, bahkan mungkin sekuler radikal.
“Jika isi dari pihak tersebut menyerang dan menuduh ajaran Islam khilafah sebagai radikalisme dan terorisme, serta mendukung demokrasi sekuler, maka pihak tersebut tidak mewakili pemikiran Islam. Dalam filsafat namanya paradoks,” ujarnya.
Kedua, pihak tersebut tidak menghargai perbedaan pendapat dan diskursus intelektual. “Berdiskusi dalam Islam harus mampu menjawab dulu pertanyaan tentang kebenaran itu menurut Al-Qur’an dan hadist atau menurut manusia dan atau pemerintah? Dalam Islam benar dan salah itu harus menurut Allah dan Rasulullah, bukan menurut manusia apalagi pemerintah,” kritiknya.
Ketiga, pihak ini tidak memiliki kesadaran politik Islam. Padahal narasi radikalisme dan terorisme itu merupakan agenda Barat untuk menyasar Islam. Narasi radikalisme dan terorisme itu bagian dari ghozwul fikr (perang pemikiran), hal ini tidak disadari oleh pihak tersebut.
“Pencerahan atas persoalan yang ditulis oleh web-web Islam justru dianggap kontraproduktif, padahal tujuannya justru untuk menyadarkan umat dari bahaya ghozwul fikr ini,” ungkapnya.
Keempat, tuduhan yang dilayangkan pihak tersebut tidak layak kepada ajaran Islam, yakni khilafah sebagai ajaran berbahaya.
“Tuduhan ini tentu saja justru berbahaya dan bisa memicu kegaduhan di kalangan umat Islam, dalam banyak kitab ulama klasik istilah khilafah dan jihad itu biasa dan bagus, bukan membahayakan,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa para ulama terdahulu telah ratusan tahun membicarakan soal sistem politik Islam, bahkan para ulama menggambarkan keindahan kehidupan manusia yang diatur oleh sistem Islam.
“Tak ketinggalan para cendekiawan Barat yang objektif justru mengakui keindahan peradaban Islam di bawah naungan khilafah,” katanya.
Ia mengungkapkan penolakan atas demokrasi dalam web Islam adalah sah-sah saja sebagai bagian dari diskursus intelektual.
“Jangan lantas dituduh radikal bagi orang-orang yang menolak demokrasi. Bahkan Plato dan Socrates juga menolak demokrasi, apakah mereka juga radikal dan teroris?” tanyanya.
Terungkap dalam dialog Plato bahwa bapak pendiri filsafat Yunani Socrates, digambarkan sangat pesimis terhadap keseluruhan demokrasi. Dilantik lamanya The School of Life, dalam Buku Enam Republik, Socrates terlibat percakapan dengan karakter bernama Adeimantus. Socrates mencoba membuatnya melihat kekurangan demokrasi dan membandingkan masyarakat dengan kapal.
“Pandangan kontra demokrasi Socrates ini diikuti oleh muridnya, Plato,” ungkapnya.
Pernyataan pihak tersebut yang merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan langkah-langkah strategis melawan berkembangnya narasi yang membahayakan seperti ini (khilafah).
“Sekilas memang menyajikan alternatif menarik tetapi justru dipahami secara mendalam mengandung unsur aksi radikal dan kejam,” tuturnya.
Mereka merekomendasikan dua strategis sebagai suatu pendekatan dan upaya preventif, yakni soft approach (pendekatan halus), melakukan kontrak narasi dari media-media keislaman yang radikal, dan Hard approach melalui upaya advokasi dan hukum yang berlaku.
Dr. Ahmad mempertanyakan tentang ajaran Islam yang melanggar hukum di negeri ini. Padahal dalam UU di negeri ini tercantum kebebasan meyakini ajaran agamanya bagi umatnya. Anjuran Hard approach sebagai pendekatan solusi tentu saja bertentangan dengan demokrasi yang diajarkan di negeri ini.
“Jika ada umat Islam meyakini khilafah dan jihad sebagai ajaran Islam, lantas apa salahnya? Bukankah dalam demokrasi memberikan ruang perbedaan pemikiran sebagai bentuk diskursus dan dialektika agar negeri ini terus tumbuh menjadi lebih baik. Mengapa pemikiran dijadikan tertuduh, atau bahkan mengapa ajaran agama Islam menjadi tertuduh?” tanyanya.
Kembali ia menegaskan bahwa memberikan ruang pemikiran, justru menandakan negara tidak anti kemajuan dan tidak anti perubahan.
“Orang awam yang dicekoki dengan pemahaman radikal radikal yang mengarah kepada ajaran Islam adalah bentuk adu domba antar umat Islam itu sendiri, sebab masyarakat awam belum tentu bisa memahami istilah-istilah filsafat atau isme Barat ini,” tegasnya.
Bukti Khilafah Ajaran Islam
Dr. Ahmad Sastra mengatakan khilafah berasal dari khazanah ajaran Islam bidang politik dan negara, maka merupakan bagian dari ajaran Islam.
“Dalam Islam, seorang pemimpin negara itu disebut khalifah, sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di bumi',” katanya.
Ia menjelaskan banyak kitab dan pendapat ulama tentang khilafah. Ulama dan kitab tersebut mewakili ajaran Islam, sebagaimana yang dipakai oleh mayoritas umat Islam di dunia kajian tentang tafsir, fikih, usul fikih, dan lainnya sebagai bagian dari ajaran Islam.
“Maka, jika ada kitab para ulama yang mengkaji khilafah membuktikan bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam,” jelasnya.
Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan, dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu.
“Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah masih sebatas diskursus intelektual,” tuturnya
Ia menguraikan tiga esensi khilafah dalam Islam, yakni:
Esensi pertama, untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia.
Esensi kedua, khilafah adalah dakwah rahmatan lil’alamin ke seluruh penjuru dunia.
Esensi ketiga, khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
“Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme, kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah, dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah,” urainya.
Radikalisme dan Terorisme Agenda Barat
Menurut Dr. Ahmad, istilah radikalisme dikonstruk oleh epidemiologi Barat, mengalami semacam politikus makna, istilah radikal oleh Barat dijadikan alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam.
“Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan, kelak melahirkan islamofobia di Barat dan seluruh dunia. Menggunakan istilah radikal untuk Islam merupakan kerinduan epistemologi atau cacat intelektual dan cacat historis,” tuturnya.
Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologi yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka.
“Sebagian besar cendekiawan Muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dengan lahan,” ujarnya.
Ia mengakhirinya dengan menyatakan bahwa kaum muslimin telah masuk ke dalam jebakan kebingungan intelektual.
“Dengan metode hermeneutika, lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Islam ajaran Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam Barat. Inilah bukti bahwa narasi radikalisme adalah agenda Barat,” pungkasnya. [] Ageng Kartika