Tinta Media - Sertifikat halal merupakan salah satu syarat wajib yang mutlak ada pada suatu produk. Namun, berbagai kendala ditemui saat produsen hendak melabeli halal produknya. Beberapa produk yang wajib ada label halal antara lain produk pangan (makanan dan minuman), bahan baku pangan (bahan tambahan pangan serta bahan penolong produksi pangan), produk sembelihan hewan dan jasa penyembelihan hewan. Masa penahapan pertama sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024 (detiknews.com, 8/1/2023).
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH), Kementrian Agama, Muhammad Aqil Irham, menegaskan, nantinya akan ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (beritasatu.com, 8/1/2023). Sanksi ini sesuai dengan aturan yang telah ada yaitu PP No. 39 Tahun 2021. Aqil pun melanjutkan, berkenaan dengan kewajiban sertifikasi halal, maka diimbau bagi seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus segala proses sertifikasi halal produknya.
Pemerintah menyediakan pelayanan sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, ada juga yang bertarif, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021, tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No.1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH.
Besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare (pernyataan pelaku usaha) yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00. Ini tergantung keadaan keuangan negara. Sementara, biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik Usaha Menengah dan Kecil (UMK) adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH (Lembaga Penjamin Halal) maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga, total biayanya adalah Rp650.000,00. Sedangkan untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3.000.000,00 (kemenag.go.id, Maret 2022).
Sertifikasi halal semestinya merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya. Ini demi menjaga kehalalan suatu produk sesuai perintah syariat Islam. Namun, hal ini menjadi sulit mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang sekuleristik, yaitu sistem yang berlandaskan pada keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan.
Hal ini diperparah dengan sifatnya yang sekuleristik, tak mempedulikan keberadaan aturan agama dalam penerapannya. Sehingga wajar saja, saat kebutuhan sertifikasi halal suatu produk pun dijadikan objek pemalakan terhadap masyarakat secara umum. Negara menganggap bahwa setiap proses sertifikasi berpotensi menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi negara dengan besaran yang telah ditentukan, sungguh memprihatinkan.
Sistem Islam memberikan kemudahan dalam sertifikasi kehalalan produk. Hal ini karena tujuan utama sistem Islam saat mengurusi setiap urusan umat adalah untuk meraih rida Allah Swt. Karena itu, negara wajib menjaga kehalalan produk umat.
Ada dorongan kuat dari dalam tubuh negara untuk menjaga setiap darah umatnya, yaitu iman dan takwa.
Berbeda dengan sistem yang ada sekarang, pengadaan sertifikasi halal dilakukan karena adanya kepentingan materialistik, yaitu keuntungan ekonomi semata. Inilah keburukan sistem kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan umat. Setiap prosesnya selalu berujung pada proses pemerasan terhadap masyarakat, tanpa pikir panjang, tentang segala akibat yang bakal terjadi.
Sistem Islam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Hal ini karena dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) bagi seluruh umat, bukan malah menjadi pelaku bisnis atas segala kebutuhan masyarakat. Segala kehalalan produk yang dikonsumsi rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara. Setiap jengkal pengurusan kebutuhan umat wajib diurusi berdasarkan akidah Islam. Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang senantiasa ditaati dengan sepasrah-pasrahnya ketaatan.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' : 59)
Negara wajib menjaga seluruh kebutuhan umat, termasuk kehalalan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Negara pun mutlak menjadi pengawas setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tak hanya jadi pengawas, negara pun harus memfasilitasi dan mendanai segala kebutuhan produsen terkait proses sertifikasi halal produk. Dengan proses tersebut, berarti negara menjamin keamanan dan kehalalan produk yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat.
Islam menjamin kehalalan produk sejak awal proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pembuatan, distribusi, hingga berakhir pada tangan konsumen. Semua proses diawasi negara. Semua dikontrol oleh para ahli di bidangnya. Para ulama pun mengawasi segala proses demi keamanan dan kehalalannya.
Keamanan dan kehalalan produk makanan akan mudah terselenggara dalam sistem Islam. Bahkan, negara senantiasa mengawasi bahan pangan secara periodik dan mengeliminir segala bahan haram dan berbahaya yang beredar di pasaran.
Lantas apa lagi yang diragukan dari sistem Islam yang begitu sempurna mengatur kehidupan?
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor