Tinta Media - Temuan Tim risert I-NAMHS yang menyebut satu dari 20 remaja di Indonesia atau setara dengan 2,45 juta remaja memiliki gangguan mental yang terkategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), dinilai Muslimah Media Center (MMC) berpangkal pada penerapan sistem sekuler kapitalis.
“Problem ini sejatinya berpangkal pada penerapan sistem sekuler kapitalis yang rusak tidak sesuai dengan fitur manusia dan kering dari nilai-nilai agama,” ujar narator pada rubrik serba-serbi MMC: Fenomena Gangguan Mental pada Pemuda, Butuh Solusi Sistemik, Ahad (25/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC).
Penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini, menurut narator, telah menjadikan angka kemiskinan tinggi. “Pemenuhan kebutuhan hidup semakin sulit dan persaingan hidup untuk mencari materi dan kenikmatan juga semakin keras,” paparnya.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup tidak cukup seorang ayah saja yang bekerja untuk mencari nafkah. Tapi kondisi ini juga menyeret kaum Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga dan penopang ekonomi keluarga. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang tanpa pengawalan dan pendampingan. “Sehingga terjadilah disharmonisasi diantara keluarga, relasi atau hubungan yang terjadi di antara keluarga penuh dengan tekanan sehingga anak-anak berguru pada lingkungan yang buruk,” jelas narator.
Dalam kondisi ini, narator melihat negara juga merusak para remaja dengan kebijakan media yang sangat longgar. "Pornografi, kekerasan, pencabulan, perilaku menyimpang dan yang lainnya sangat mudah didapatkan oleh remaja dari media. Tak heran remaja dalam sistem kapitalisme begitu rentan dengan gangguan kesehatan mental,” tukasnya.
Kondisi ini, dinilainya berbeda dengan Islam. Islam sebagai din yang sempurna sekaligus sebagai ideologi yang berasal dari Allah dinilai mampu menyelesaikan setiap persoalan manusia tak terkecuali masalah remaja. “Dengan sistem yang komprehensif Islam memberikan solusi untuk mencegah gangguan kesehatan mental pada remaja diantaranya pertama menanamkan akidah yang kuat bahwa tujuan hidup yang hakiki di dunia ini adalah untuk beribadah meraih Ridho Allah dan surga di akhirat,” nilainya.
Menurut narator, dunia adalah ladang untuk mencari akhirat. Maka semua amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba di dunia ini adalah dalam rangka menyiapkan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. “Penanaman akidah yang kuat juga harus disertai dengan adanya sikap yang benar dalam menerima qada Allah dengan rida dan sabar,” jelasnya.
Adapun bentuk tubuh yang diciptakan oleh Allah, menurutnya, haruslah disyukuri oleh manusia bukan untuk dihina atau dijadikan sumber depresi. “Dengan sikap seperti ini seorang muslim akan menjadi tenang tanpa adanya tekanan dan depresi,” tuturnya.
Solusi kedua, menurut narator yaitu adanya optimasi dari peran negara. “Negara harus menjalankan perannya sebagai riayatus syu’unil ummah atau pelayan terhadap semua urusan umat dalam segala aspek kehidupan,” terangnya.
Dalam aspek ekonomi, ia berpendapat negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan rakyatnya individu per individu, sehingga tidak ada satupun orang dari warga negara yang kesulitan mencari nafkah kesulitan bertahan hidup atau mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam aspek pergaulan, negara wajib menciptakan iklim yang aman dari segala bentuk kemaksiatan, tindakan asusila, kejahatan seksual, perudungan, atau yang lainnya. "Dalam aspek pendidikan, negara akan memberikan biaya yang gratis tanpa memungut sepeser pun dari rakyat. Negara akan memberlakukan kurikulum yang sesuai dengan tumbuh kembang anak sehingga tidak ada satupun peserta didik yang depresi karena kurikulum yang terlalu berat," terangnya.
Dari aspek kesehatan negara akan memberikan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas. “Negara akan memberikan rehabilitasi medis dan non medis bagi orang-orang yang mengalami gangguan mental melalui ahli-ahli yang kompeten,” papar narator.
Narator menyebutkan dalam sejarah kedokteran, Abu Bakar ar-Razi adalah orang muslim pertama yang meletakkan dasar-dasar pengobatan jiwa. Beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul ‘Aktif ar-Ruhani’ atau pengobatan jiwa. Sementara pada saat yang sama di Eropa orang dengan gangguan jiwa masih diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Mereka dipenjara dan disiksa karena orang-orang Eropa menganggap bahwa penyakit jiwa merupakan laknat dari langit yang ditimpakan kepada pengidapnya sebagai siksa atas dosa yang dilakukannya. Dan kondisi ini terjadi hingga pada akhir abad ke-18 masehi.
Dari aspek hukum, lanjutnya, negara akan memberikan sanksi yang menjeratkan kepada setiap perilaku kriminal. Sehingga tidak ada pelaku kejahatan yang menyebabkan orang lain mengalami gangguan jiwa. “Demikianlah solusi sistemik Islam dalam mengatasi masalah gangguan mental pada rakyat termasuk remaja,” jelasnya.
“Solusi tersebut hanya bisa terlaksana ketika negara memberlakukan sistem syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah,” tandasnya.[] Raras