Tinta Media - Fakta saat ini korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang, bahkan menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah kasus, tersangka, maupun potensi kerugian negara.
Berdasarkan hasil pemantauan Penindakan Kasus Korupsi semester 1 tahun 2022, ICW mencatat ada 252 kasus korupsi dengan 612 orang, di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dan potensi kerugian negara mencapai Rp33.6 Triliun. Sedangkan Jampidsus Kejagung Fabrie Adriansyah memaparkan bahwa sepanjang tahun 2022, hasil penanganan perkara korupsi mencatat kerugian negara mencapai Rp144.2 Triliun (Merdeka. com 7/01/2023).
Permasalahan korupsi di Indonesia selalu berulang dan sulit diberantas. Redaksi Tanjung Pinang Pos (9/10/2022) memaparkan alasan korupsi di Indonesia sulit diberantas karena:
(1) Korupsi merupakan bagian dari romantika kekuasaan. Penyalahgunaan uang rakyat oleh pejabat dianggap biasa. Sistem birokrasi yang lambat dan berbelit-belit menciptakan celah bagi para oknum untuk meminta imbalan kepada rakyat dalam upaya mempercepat urusan
(2) Kurang penegakan hukum sehingga tidak ada efek jera dan takut pada hukum.
(3) Hukum lemah sehingga kekuasaan dapat mengintervensi proses pengadilan para koruptor.
Peraturan yang digunakan di Indonesia saat ini adalah undang-undang buatan manusia yang banyak kelemahannya sehingga mudah untuk disiasati oleh oknum.
Transparency International Indonesia (TII) mendapatkan hasil survei bahwa anggota legislatif merupakan lembaga terkorup di Indonesia, disusul oleh pejabat pemerintah, polisi, pebisnis, hakim, menteri, LSM dsb. Ini menjadi bukti bahwa sistem yang digunakan di Indonesia, yaitu sistem demokrasi yang lahir dari sekularisme tidak bisa mendukung tata kelola pemerintahan suatu negara dengan baik. Demokrasi bahkan menjadi biang keladi terjadinya korupsi karena proses pemilihan pejabatnya memerlukan biaya yang sangat besar.
Islam sebagai agama dari Allah Swt. mempunyai aturan yang sangat tepat untuk mencegah dan memberantas korupsi karena aturannya dibuat oleh Sang Mahabijaksana dan Mahaadil, yang menciptakan manusia. Aturan dalam agama Islam (Syariah Islam) memiliki sifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (memberi efek jera) bagi para pelakunya.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak. Untuk itu, Islam menetapkan beberapa langkah dalam memberantas korupsi, antara lain:
Pertama, penerapan ideologi Islam berupa penerapan syariah Islam secara kaffah/ menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan. Pemimpin diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur'an dan as Sunnah.
Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat didasarkan pada ketakwaan dan kezuhudannya selain profesionalitasnya, bukan pada gelar akademik atau kekayaannya.
Takwa yang dilengkapi sifat zuhud (memandang rendah dunia) akan menghindarkan pejabat dari keinginan korupsi karena tujuan mereka menjabat semata-mata mencari rida Allah.
Jabatan hanyalah sarana untuk mewujudkan 'izzul Islam wal muslimin, bukan untuk mendapatkan materi.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar'i. Politik adalah cara mengurusi rakyat dengan sepenuh hati sesuai tuntunan syariah Islam. Jadi, bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki atau partai.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera dan mencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas itu bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, hukum cambuk hingga hukuman mati.
Sistem Islam menjaga para pejabat agar tidak melanggar syariah. Efektivitas Islam dalam menjaga dan memberantas korupsi dapat dilihat dari keteladanan Rasulullah dan para sahabat saat Daulah Islam tegak selama berabad-abad lamanya.
Rasulullah tidak ragu untuk megingatkan sahabat yang diberi tugas kenegaraan untuk tidak berbuat ghulul (khianat) kepada Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah dan para sahabat hidup sederhana walaupun mereka memegang banyak harta negara. Bukan hanya diri mereka yang berusaha bersih dari korupsi, mereka juga menjaga kerabat dan keluarganya untuk tidak menggunakan harta negara bagi kebutuhan pribadinya.
Bila terbukti ada pejabat yang korupsi, memperkaya diri sendiri dengan curang, hukumannya adalah ta'zir, bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara atau hukuman mati, tergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan.
Demikianlah, sejarah membuktikan bahwa penerapan syariah Islam efektif memberantas korupsi. Maka, yakinlah bahwa hanya Islam solusi hakiki untuk memberantas korupsi, yaitu dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah.
Wallahu'alam bis shawab.
Oleh: Wiwin Widaningsih
Sahabat Tinta Media