Tinta Media - Berulang dan terus berulang, belum reda rasa sakit di hati umat Islam saat menyaksikan kitab suci Al-Qur'an di bakar oleh seorang ekstremis sayap kanan Swedia-Denmark. Yang terjadi di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia pada Sabtu (21/1)
Kendati aksi keji tersebut, menuai banyak kecaman dan kemarahan dari umat muslim di dunia dan beberapa negara termasuk pemimpin negara Arab, seperti Arab Saudi, Yordania, dan Kuwait. Bahkan pemerintah Turki membatalkan sepihak rencana kunjungan Menteri Pertahanan (Menhan) Swedia Pal Jonson ke Turki.
Namun faktanya hal serupa terjadi lagi, hanya berselang satu hari, kali ini dilakukan oleh politisi Belanda, Edwin Wagensveld seorang kepala kelompok anti-Islam Pegida, yang merobek dan menginjak-injak lembaran Al-Qur'an di depan gedung parlemen di kota Den Haag, Belanda pada hari Minggu (22/1).
Sejatinya peristiwa penistaan agama yang terjadi di Eropa, khususnya Swedia dan Belanda saat ini, tidak lain adalah gambaran jelas tentang Islamofobia, meski sesungguhnya menguatnya Islamofobia di Eropa adalah akibat dari kebijakan yang di buat barat sendiri, yaitu agenda barat war on terrorism, Barat jugalah yang terus menframing Islam sebagai agama teroris dan radikal. Akibat kebencian barat yang tertanam semenjak perang salib, karena mereka menyaksikan politik Islam di masa kekhalifahan sangat kuat dan tak terkalahkan, sehingga dendam itu terus mengakar hingga saat ini.
Kekhawatiran barat akan kembalinya kebangkitan Islam, terlebih saat ini ideologi yang mereka banggakan yaitu kapitalisme kian kehilangan pamornya, akibat kegagalannya menjadi sistem yang mampu membawa kebaikan bagi umat manusia. Dan kemana perginya Hak asasi Manusia (HAM), yang selalu mereka gembar gemborkan? Kenapa bungkam menyaksikan tindakan tersebut, bahkan tanpa malu-malu, mereka terus melakukan pembelaan dengan mengatakankan itu adalah kebebasan berekspresi, padahal secara jelas peristiwa ini bukan saja melukai umat Islam namun juga termasuk melanggar HAM, yakni kebebasan beragama. Namun inilah fakta bahwa HAM hanyalah omong kosong yang mereka ciptakan untuk kepentingan mereka saja.
Selain itu, tindakan lancang para pembenci Islam, tidak lain adalah akibat dari ketiadaannya negara Islam yang dipimpin oleh kepala negara tunggal, yang mampu menjaga islam. Sekalipun Islam menduduki posisi kedua sebagai agama terbesar di dunia, namun seperti anak ayam kehilangan induk, umat Islam demikian lemah akibat terpecah belah menjadi negri-negri kecil.
Belum lagi penerapan sekularisme yang berhasil meminggirkan peran agama dari kehidupan, nasionalisme yang terus dihujamkan ke dalam dada-dada umat manusia, kian mengikis ghirah untuk membela agamanya. Sementara liberalisme terus saja memberikan panggung kepada para penista, sehingga mereka bebas menghinakan umat islam, mengolok-olok, mencederai kehormatan, kesucian bahkan kesakralan nilai agama.
Oleh sebab itu penting untuk di fikirkan kembali oleh para pemimpin negara- negara muslim, akan urgensinya persatuan dan kesatuan bagi umat Islam dalam naungan institusi Islam, sebab hanya dengan adanya negara Islam, kita semua mampu bersikap tegas, terhadap negara-negara yang menghina Islam beserta para sekutunya
Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, "Siapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya dia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka hendaknya dia mengubah dengan lisannya, kalau tidak mampu, maka hendaknya dia mengubah dengan qalbunya dan itulah selemah-lemahnya iman" (HR. Imam Muslim).
Kecaman dan kutukan itu memang harus kita lakukan, namun aksi nyata seperti memutuskan hubungan diplomatik dalam segala aspek itu lebih perlu di lakukan. Contohnya untuk negara-negara muslim di Arab, hentikan kerjasama di bidang minyak. Sebab perkara ini bukan hal kecil namun perkara yang sangat penting yaitu penistaan terhadap Al-Quran, kitab suci yang wajib diimani oleh setiap muslim. Agar barat menyadari betapa negara muslim mampu tegas dan tidak memberi toleransi pada penista agama.
Sebagaimana pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani ketika merespon kelakuan
pemerintah Prancis yang menggelar pertunjukan teater dan menampilkan tokoh utama Nabi Muhammad SAW. Saat itu Khalifah (Sultan Abdul Hamid) mengancam Inggris dengan jihad fi sabillillah, akhirnya merekapun tidak berani berbuat lancang terhadap Islam.
Dan lebih dari itu, Semoga saja dengan adanya peristiwa yang menyakitkan ini mampu membuat umat kian tersadarkan dan terbangun dari tidur panjangnya, bahwa kita sudah lama diam, kita sudah lama terhinakan, ini waktunya untuk kita bangkit dan bersatu, bersama-sama menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan sistem Islam, karena agama itu adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga (ad-dînpu ussun wa as-sulthân hârisun) disini kita memahami bahwa kekuasaan itu sangat penting bagi Islam guna menegakkan, memelihara, menjaga dan mengemban Islam serta memelihara urusan umat Islam dan melindungi mereka dari para pembenci Islam. Sebagaimana dahulu Rasulullah Saw menegakkan kekuasaan, dengan mendirikan pemerintahan Islam (Daulah Islam) di Madinah kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.
Wallahu'alam bissawab.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Sahabat Tinta Media