Tinta Media - Dilansir dari Liputan6 pada 15 Desember 2022 lalu. Diketahui Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Oktober 2022, masih melanjutkan tren penurunan. Bila dilihat dari posisi dan pertumbuhan ULN, pemerintah sejak bulan Maret 2022, kini masih mengalami penurunan secara konsisten.
Oleh sebab itu, dinyatakan, posisi ULN pemerintah pada Oktober 2022 sebesar USD 179,7 miliar, ini memang lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yaitu sebesar USD 182,3 miliar. Juga termasuk secara tahunan, ULN pemerintah kini mengalami kontraksi sebesar 12,3 persen lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya, yang hanya sebesar 11,3 persen saja.
Itulah sebuah pernyataan yang dianggap satu hal positif. Mengingat posisi ULN pemerintah dianggap aman dan terkendali. Hal ini dikarenakan, hampir seluruhnya, ULN dalam jangka panjang dengan pangsa capaian 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
Sekarang kita lihat, dalam sistem kapitalis utang pemerintah dianggap hal yang wajar karena semata-mata untuk kepentingan pengeluaran pembangunan. Sehingga, dapat memberikan kontribusi langsung secara positif bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Namun, kewajaran ini tidak bagi rakyat. Dimana, rakyat harus ikut menanggung beban dalam melunasi utang negara dengan cara mewajibkan pajak terhadap mereka.
Hal ini, mencerminkan ada paradigma yang salah konsep, dalam utang suatu negara. Jika dilihat dari sisi hubungan luar negeri, utang dapat dijadikan sebagai alat pengendali negara pemberi utang. Di sisi lain, dalam negeri ini jelas menunjukkan adanya salah kelola dalam sumber daya alam (SDA). Yakni sistem ekonomi negara diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola.
Sungguh disayangkan, negeri Nusantara yang terkenal sangat kaya raya akan sumber daya alam, minyak, gas, serta kaya pula sumber daya manusianya. Kini, harus diserahkan dan dikelola pihak asing, yang tujuannya hanya untuk menguntungkan pihaknya sendiri, akibatnya berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Seharusnya, negara mampu mengelola SDA dengan baik dan benar, semata-mata hanya untuk menyejahterahkan rakyat. Juga tidak membebani rakyat yang harus terlibat membayar utang negara.
Negara juga harus amanah dan mengetahui, serta menjaga hak-hak rakyat dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya. Negara seharusnya hati-hati, tidak langsung serta-merta memberikan kepemilikan umum, kepada kelompok asing untuk dijadikan kepemilikan pribadi.
Begitu juga halnya, apa yang sudah menjadi milik negara, harus dikelola negara untuk kepentingan negara dan rakyat. Dengan tidak memberikan amanah negara berupa kepemilikan umum dan kepemilikan negara kepada yang bukan haknya (asing). Jika pengelolaan diserahkan kepada pihak yang hanya menginginkan manfaat dan kepentingan pihaknya semata. Maka, pasti akan menimbulkan kontradiksi dan rasa ketidakadilan terhadap rakyat.
Negara juga seharusnya mampu menjaga keutuhan sistem ekonomi, dari penjajahan gaya baru yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Yang mempunyai pilar kebebasan dalam kepemilikan termasuk pemungutan pajak. Akhirnya, akan terus berdampak pada utang negara secara terus-menerus yang tidak terlepas dari bunga ribawi hingga membebani rakyat.
Perlu diingat, dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa utang dan terdapat sistem bunga itu sangatlah dilarang oleh Allah Swt. Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia saat ini, terkait utang negara, wajib untuk dibenahi dengan benar dan cemerlang. Terkhusus dalam sistem ekonomi yang dinilai salah kelola.
Rakyat sangat merindukan negara yang mampu mengatur sistem ekonomi yang akan menjadikan negara kuat, berdaulat, dan yang terpenting adalah mampu memberikan keadilan dalam mengelola kepemilikan umum, tidak diberikan kepada individu lain apalagi pihak asing. Dengan aturan yang kuat lagi mengikat serta mendatangkan keberkahan. Yaitu tidak lain, hanya ada dalam negara Islam (khilafah) yang pasti akan menerapkan sistem ekonomi Islam.[]
Oleh: Mariyam Sundari
Sahabat Tinta Media