Tinta Media - Saat berdiskusi di PKAD bersama Victor Tandiyasa Santosa dan Refly Harun (15/12), penulis menyampaikan analisa adanya keterkaitan pengesahan RKUHP dengan wacana tunda Pemilu untuk memperpanjang usia kekuasaan Saudara Joko Widodo. Wacana tunda Pemilu bukanlah wacana main-main, melainkan sebuah desain memperpanjang usia kekuasaan yang benar-benar sudah dipersiapkan secara matang.
Munculnya ketentuan Pasal 624 KUHP, yang berbunyi "Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan", tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk melindungi kekuasaan dalam mengeksekusi tunda Pemilu.
Pasal ini, dalam prosesnya menuju 2025 akan melindungi KUHP yang baru disahkan dari upaya Yudisial Review di Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal ini, dapat dijadikan dalih bagi MK untuk menolak permohonan uji materi baik formil maupun materil dengan alasan KUHP yang baru belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Permohonan uji materi di MK akan dikualifikasikan prematur, dan perkara akan dikalahkan.
Saat berlaku efektif Januari 2025 (meskipun hitungan bulan belum genap 36 bulan, namun hitungan tahun telah masuk tahun ketiga), KUHP akan efektif diterapkan dan tidak cukup waktu untuk diuji di MK. Januari 2025 adalah periode awal perpanjangan kekuasaan Jokowi dengan modus tunda Pemilu, setelah 20 Oktober 2024 Jokowi habis masa jabatannya di periode kedua.
Pasal-pasal anti kritik di KUHP (penghinaan presiden, DPR, dll) akan diaktivasi untuk membungkam penolakan perpanjangan usia kekuasaan Jokowi. Demonstrasi juga akan dibungkam dengan pidana demo tanpa pemberitahuan. Cara untuk mengunci demo tak memiliki izin (pemberitahuan), adalah dengan modus tidak diterbitkannya STTP oleh kepolisian.
Adapun cara untuk mengeksekusi penundaan Pemilu bisa dengan amandemen konstitusi dengan menambah kewenangan MPR untuk menetapkan penundaan Pemilu dan menetapkan pejabat terkait tetap sah di posisinya masing-masing (Presiden, Wapres, DPR, DPD hingga DPRD). Saat ini, wacana amandemen ini masih pasang surut.
Awalnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo yang paling getol mewacanakan amandemen konstitusi dengan dalih akan menginjeksi konsep PPHN (pokok pokok haluan negara) dalam konstitusi. Tapi belakangan, Bamsoet tidak bersemangat, apalagi setelah dikeroyok publik akibat wacana tunda Pemilu yang digulirkannya dengan modus mengaitkan hasil survei politracking soal tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi dengan keinginan untuk terus dipimpin Jokowi.
Jika amandemen tidak memungkinkan, maka wacana tunda Pemilu akan dieksekusi melalui dekrit. Dekrit hanya akan dieksekusi saat Presiden benar-benar yakin mendapat dukungan penuh dari militer. Sebab, dekrit tanpa dukungan militer sama saja bunuh diri politik.
Soekarno mengeluarkan dekrit 1 Juni 1959 untuk kembali ke UUD 1945, membubarkan parlemen, mengambil kembali kekuasaan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, terjadi mulus karena didukung militer. Sedangkan dekrit Gus Dur gagal, karena militer (TNI) tidak mendukung Gus Dur.
Kalkulasi dukungan TNI untuk mengeluarkan dekrit akan diambil dengan memastikan pucuk pimpinan dan sejumlah pemegang tongkat komando ditubuh TNI harus benar-benar diisi orang-orang yang loyal pada Jokowi.
Sampai saat ini, TNI bisa dikatakan lebih loyal kepada Jokowi ketimbang kepada NKRI. Terbukti, pasukan TNI lebih serius dikerahkan ke Solo untuk menjaga pernikahan Kaesang ketimbang dikirim ke Papua untuk menjaga kedaulatan Negara dari rongrongan teroris OPM di Papua.
Parpol, DPR, MPR, DPD, DPRD akan kompak mendukung penundaan Pemilu, kecuali partai kecil pendatang baru yang sedang bermimpi berkuasa via Pemilu. Karena penundaan Pemilu, berarti juga berkah untuk Parpol, DPR, MPR, DPD dan DPRD. Mereka dapat berkuasa kembali, menikmati legitnya kekuasaan tanpa harus berkeringat dan mengeluarkan uang untuk bertarung dalam kontestasi Pemilu.
Wacana tunda Pemilu selalu mendapatkan dukungan elit secara bergantian. Sebelumnya, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Cak Imin hingga Bambang Soesatyo yang bicara. Kini, level Waketum Parpol mulai ikut bicara.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mulyadi menilai adanya wacana perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan pemilu 2024 yang dilontarkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo merupakan hal yang wajar dan bagian dari aspirasi masyarakat.
Hal itu mengkonfirmasi, wacana tunda Pemilu bukan sekedar isu politik. Melainkan sebuah gerakan politik yang dijalankan secara terstruktur, sistematis dan masif. Kalau sudah begini, masih relevankah masyarakat disibukkan dengan narasi copras capres?
Jangan lupa, meskipun tahapan Pemilu sudah dimulai namun untuk membatalkannya dapat dieksekusi kapan saja. Bahkan hingga satu hari menjelang pemungutan suara. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)