Tinta Media - Tulisan berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki impilasi terhadap Islam dan Umat Islam. Simak pemaparan berikut ini:
I. KRIMINALISASI KEBEBASAN BERPENDAPAT
Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu. Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat.
II. PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi dibeberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut diantaranya di Surabaya, Yogyakarta dll. Bahkan amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama)
perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.
jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. etentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama.
III. KAMPANYE RADIKAL, EXTREMISME & TOLERANSI TERUS TERJADI
Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’, ‘radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme”. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantanya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya.
Selain itu oknum aparatur Pemerintah ada yang berupaya mengawasi atau mengintel di rumah dan ditempat pekerjaan terhadap orang yang dituduh radikal. Semestinya Pemerintah tidak melakukan indelingsbelust yaitu mendefinisikan, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan.
Pemerintah wajib menghentikan. Apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat. "Apabila itu terjadi persekusi di akar rumput rakyat, maka negara dikhawatirkan dapat dinilai mensponsori kebencian terhadap sesama anak bangsa.
Mengutip data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Global Counter - Terrorism Strategy (A/RES/60/288 and 2030), menyatan diperlukannya penekanan untuk mencegah penyebaran kelompok atau individu yang dituduh ekstremisme dan radikal. Adakah kaitannya dengan rencana global memerangi kelompok yang dituduh radikal-ekstremisme dan teroris?
Kampanye toleransi terus di galakan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran.
IV. PENINDAKAN TERDUGA TERORIS TAMPAK MENYASAR UMAT ISLAM
Kamis malam, 10 Maret 2022 viral diberbagai kantor berita, memberitakan "Dokter Sunardi ditembak mati oleh Detasemen Khusus atau Densus 88 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dokter Sunardi tewas ditembak lantaran diduga melakukan perlawanan saat hendak ditangkap oleh Densus 88. Ia disebut mencoba melarikan diri saat hendak diringkus oleh Densus 88 lantaran dugaan terlibat terorisme.". Perkara ini telah menjadi perhatian publik, agar diperoleh keadilan publik maka perlu KOMNAS HAM RI segera membentuk tim independen pencari fakta dan harus transparan mengungkap kejadian tersebut, terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan. Jika aparat yang dilapangan dan/atau memberikan perintah yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum.
Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan. Negara ini merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law) dan bahwa aparat dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir.
Kemudian dalam proses penyitaan barang bukti, sebaiknya menghindarkan dari hal-hal yang beririsan dengan simbol-simbol agama atau yang dipersonifikasikan dengan agama yaitu penyitaan sejumlah buku yang bertema jihad, iqra, alquran, bendera tahuhid, terlebih lagi kemudian dipublikasikan ke media dan publik. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap istilah dan ajaran Islam yaitu jihad. Istilah jihad banyak dijelaskan didalam Al-Qur'an dan hadits. mendorong agar proses penegakan hukum dipisahkan dari politik. Kami berpendapat bahwa menyita buku-buku bertema jihad dan menampilkan kehadapan media dan publik adalah tampak seperti tindakan politik. Apa hubungannya antara tindakan pidana dengan buku tersebut. Kami patut menduga sedang ada upaya membangun narasi "buku-buku jihad inspirator teroris", sehingga berujung pada stigmatisasi-alienasi istilah jihad. adanya kriminalisasi dan 'monsterisasi' Jihad, membuat orang takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakutkan. Dikhawatirkan terjadi kecenderungan tidak akan berani menjelaskan terkait Jihad Sebab ketika membahas seolah-olah seorang penjahat atau teroris dan dituduh orang yang cenderung akan berpikiran ISIS.
V. PENISTAAN AGAMA
Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama, kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah SAW, dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan. Para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan.
VI. KUHP BARU
Didalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022). terdapat norma yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun.
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
Demikian
IG @chandrapurnairawan
Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT