Tinta Media - Jurnalis Joko Prasetyo menilai aroma
islamofobia kuat menyengat di Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang disahkan pada 6 Desember 2022. “Selama 2022 ini banyak regulasi dan
kebijakan yang menunjukkan rezim ini islamofobia, salah satunya aroma
islamofobia kuat menyengat itu di pasal 188 KUHP terbaru,” ungkapnya kepada Tintamedia.web.id,
Kamis (29/12/2022).
Karena, lanjut Om Joy, sapaan akrabnya,
dalam pasal tersebut selain secara definitif melarang paham komunisme/marxisme, leninisme, juga memuat frasa, “Atau
paham lain yang bertentangan dengan Pancasila”. “Itu frasa yang tidak
definitif, ambigu, multitafsir, sangat ngaret, dan berdasarkan rekam
jejak rezim ini, kuat aroma untuk mengkriminalisasi khilafah ajaran Islam,”
tegasnya.
Om Joy meragukan kalau frasa ambigu
tersebut muncul murni untuk menjerat semua paham yang bertentangan dengan
Pancasila. “Itu apakah murni untuk menjerat paham lain yang bertentangan dengan
Pancasila atau untuk mengkriminalisasi khilafah ajaran Islam?” tanyanya.
Bukan apa-apa, lanjutnya, karena selama
ini khilafah kerap diopinikan rezim sebagai ideologi yang bertentangan dengan
Pancasila. Karena alasan itu pula ormas Islam yang istiqamah mendakwahkan
khilafah ajaran Islam dicabut badan hukum perkumpulannya, para aktivisnya
dipersekusi dan dikriminalisasi.
Tapi dalam waktu bersamaan, terang Om Joy,
rezim ini dengan sangat produktif mengamalkan paham kapitalisme, di antaranya:
privatisasi aset yang menurut Islam itu kepemilikan umum (milkiyah ammah)
yang haram diprivatisasi, meminjam uang berbunga dan juga melegalkan bunga bank
yang menurut Islam itu riba satu dirham saja dosanya setara berzina dengan
ibunya sendiri; dan lain sebagainya. “Selain itu, terlihat wellcome
dengan paham komunisme, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ajaran Islam,”
jelasnya.
Sekali lagi, ia pun menanyakan, apakah
yang dimaksud dengan frasa ambigu oleh rezim itu khilafah? “Bila menganggap
khilafah bertentangan dengan Pancasila, itu mengonfirmasi bahwa Pancasila
bertentangan dengan Islam. Mengapa? Karena khilafah bukanlah ideologi, tetapi
ajaran Islam di bidang pemerintahan. Hukumnya fardhu kifayah untuk ditegakkan,”
jelasnya.
Agar Leluasa
Menurutnya, rezim kerap menyebut khilafah
sebagai ideologi agar kaum islamofobia leluasa menista khilafah ajaran Islam
selain itu agar Muslim yang masih awam tidak mengetahui khilafah adalah ajaran
Islam di bidang pemerintahan.
“Soalnya, seawam-awamnya orang Islam,
mestilah membela ajaran agamanya bila dinistakan. Bagaimana agar leluasa
menista khilafah, ya fitnah saja khilafah sebagai ideologi. Lalu dimonsterisasi
dengan berbagai fitnah lainnya agar tampak menakutkan di mata orang-orang awam,”
ungkapnya.
Sebaliknya, jelas Om Joy, berbagai UU dan
kebijakan yang sangat kapitalistik (neolib/sangat pro oligarki meski
menyengsarakan rakyat) tidak dihapus dan rezim ini tetap saja bermesraan dengan
Kakak Besar (sebutan Presiden Jokowi kepada Presiden Komunis Cina Xi Jinping)
yang jelas-jelas membantai dan menyiksa Muslim Uighur, tidak dapat diragukan
lagi, ini hanya menambah fakta baru saja untuk menambah fakta sejarah yang
selama ini sudah terang benerang bahwa, "Pancasila memang dijadikan alat
oleh para sekuler-kapitalis dan ateis-komunis untuk menjegal
tauhid-Islam."
Makanya, lanjut Om Joy, tidak aneh kalau
ketua dari badan yang paling otoritatif dalam pembinaan 'ideologi' Pancasila,
BPIP, Prof. Dr. Yudian Wahyudi mengatakan, "Jadi kalau kita jujur, musuh
terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan."
“Agama apa yang dimaksud kalau bukan Islam? Wong selama ini yang konsisten dipersekusi dan kriminalisasi itu hanya Islam kok, bukan agama lain,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it