Tinta Media - Pakar Hukum Masyarakat dan Filsafat Pancasila Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. merekomendasikan solusi bagi pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana), lebih baik dievaluasi supaya lebih cermat dalam hal yang sangat krusial.
“Lebih baik dievaluasi lagi (pengesahan RKUHP) supaya lebih cermat dalam hal yang sangat krusial,” sarannya pada Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian Analisis dan Data (PKAD).
Menurutnya, hal yang sangat krusial tersebut meliputi pasal-pasal yang sangat kontroversial, dinilai terlalu represif, dan berpotensi untuk memenjarakan rakyat.
“Menurut saya, pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) harus cermat dan kalau perlu menghilangkan pasal-pasal atau mencabut atau membuang pasal-pasal yang sangat kontroversial, dinilai terlalu represif, dan berpotensi untuk memenjarakan rakyat,” tuturnya.
Ia mengungkapkan ada beberapa pasal yang berpotensi dalam hal ini menjadi ancaman atau bahaya terhadap kebebasan pers, kebebasan bermedia, kebebasan berekspresi, dan juga kebebasan berpendapat. Ini menunjukkan sisi politik hukum di negara ini masih pseudo demokrasi.
“Dari sisi politik hukum, saya katakan kita ini masih pseudo demokrasi, masih pura-pura demokrasi atau setengah demokrasi. Orang mengatakan ini demokrasi semu karena terkait dengan beberapa kebebasan tadi, yaitu kebebasan pers, bermedia, berekspresi, kebebasan itu sangat dibatasi,” ungkapnya.
Bagi Prof. Suteki, nuansa RKUHP tampaknya tidak lebih masih ada unsur-unsur kolonial, bagaimana penguasa itu berhadapan dengan rakyat.
“Semestinya posisinya harus equal antara rakyat dengan penguasa. Kalau kita menganut sistem demokrasi itu, penguasa kan pekerja-pekerja rakyat, kita menjadi tuannya. Katanya kedaulatan di tangan rakyat, tapi kalo begini, apakah betul kedaulatan di tangan rakyat?” kritiknya.
Ramai dibicarakan dalam draf akhir RKUHP tanggal 24 November 2022, istilahnya versi 24 November yang mengatur tentang tindak pidana terhadap ideologi. Ideologi negara itu direformulasi, semula itu mengatur Ikhwal penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme kemudian ditambah dengan frasa atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
“Jadi lengkapnya di Pasal 188 ayat 1 itu di draf akhir RKUHP versi 24 November bunyinya: 'Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum, dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun di pidana penjara paling lama empat tahun'. Nah, bahaya kan kata-kata atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, itu multitafsir, ini pasal karet,” urainya.
Ia kembali mengkritisi tentang maksud dari paham lain itu mungkin disebut sebagai ideologi. Bercermin pada peristiwa yang sudah terjadi, saat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) itu dibentuk, di dalamnya tidak dicantumkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 sebagai salah satu bahan pertimbangan atau masuk di konsideran RUU HIP.
“Hal ini akan membuat Komunisme kembali diendorse lagi bahkan ketika itu Sekretaris Jendral PDIP Hasto Krisyanto mengatakan kami masukkan TAP MPRS No. 25 tahun 1966 dengan syarat dua ideologi lain dimasukkan sebagai ideologi terlarang, yakni radikalisme dan khilafahisme. Ketika penguasa nanti anti dengan keduanya, maka itu berbahaya!” kritiknya.
Ada beberapa pasal yang bisa dijadikan satu kajian tertentu, yakni Pasal 188, 189, dan 190 tentang peniadaan ideologi Pancasila, tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden, kemudian tindak pidana penghinaan pemerintah.
“Pasal tentang penghasutan dan yang melawan penguasa umum, memang pasal ini kalau diterapkan semua membuat penguasa itu nyaman karena sudah dibatasi semacam itu. Ada pasal tindak pidana penyiaran/penyebarluasan berita/pemberitaan bohong, dan sebagainya. Pasal-pasal ini supaya ditinjau ulang,” pungkasnya. [] Ageng Kartika