Tinta Media - Menjelang akhir tahun, opini intoleransi kembali mengemuka. Umat lslam selalu menjadi sasaran tembaknya. Jika menolak mengucapkan selamat hari raya umat lain, maka dianggap melakukan tindakan intoleransi.
Padahal, dalam Qur’an Surat al-Kafirun sudah jelas dinyatakan, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.
Maka, tidak akan pernah sama agama mereka dengan agama umat lslam, cara beribadah pun tentu berbeda. Lantas, mengapa opini tersebut didengungkan?
Ini tak lain karena ada upaya menjauhkan umat lslam dari syariatnya yang agung. Ketika umat jauh dari syariat, maka mereka akan mudah menerima pluralisme, yaitu menggangap semua agama sama, tidak boleh berpendapat bahwa agama lslam paling benar, membenarkan nikah beda agama, dan lain-lain. Ujung dari semua itu adalah umat lslam tidak akan bangkit menuju kemuliaan dan menjadi umat terbelakang karena mengikuti arahan Barat dan anteknya yang membenci lslam.
Pluralitas Bukan Pluralisme
Sejak Rasulullah saw. mendirikan negara lslam pertama di Madinah, terdapat sikap toleransi yang baik bagi pemeluk agama lain. Di sana ada berbagai agama, yaitu lslam, Nasrani, Yahudi, dan lainnya. Namun, mereka bisa hidup berdampingan dengan tidak ada gejolak.
Ini karena dalam lslam sendiri sudah tegas dinyatakan tidak ada paksaan masuk lslam (TQS A-Baqarah 256). Itu artinya, pluralitas atau kemajemukan adalah keniscayaan yang bisa dijalankan. lslam menghormati pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya.
Namun, pluralisme jelas dilarang keras karena sudah memasuki ranah iman. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia sama dengan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan pernah mengeluarkan fatwa terkait ini, sebagaimana termuat dalam surat nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Di sana, MUI menilai pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama bertentangan dengan Islam.
Munculnya pluralisme disebabkan karena diterapkannya sekularisme di negeri ini, yaitu paham kebebasan untuk membuat aturan sendiri dalam urusan kehidupan tanpa mau terikat dengan agama (lslam). Tentu dampaknya sangat berbahaya bagi umat lslam, yaitu mencampurkan antara yang hak dan batil. Padahal, seorang muslim harus yakin bahwa lslam adalah agama yang paling benar dan agama selain lslam tidak diterima disisi-Nya, bahkan kelak di akhirat akan mengalami kerugian besar. (TQS Ali Imran 85).
Toleransi adalah membiarkan pemeluk agama lain menjalankan peribadatannya sesuai keyakinannya dan tidak menganggu. Namun, tidak boleh berpartisipasi dengan mereka dalam peribadatan, seperti merayakan hari raya bersama-sama, menjaga tempat ibadah, memakai pakaian ibadah mereka, membersihkan tempat ibadahnya, dan lain-lain karena semua itu masuk tasyabuh atau menyerupai mereka.
Jelas bahwa pluralisme berbahaya dan harus dijauhi karena menyebabkan umat Islam jatuh pada kemaksiatan hingga kesyirikan. Pluralisme sejatinya bentuk perang pemikiran yang terus dilancarkan hingga umat betul-betul mengikuti mereka tanpa disadari.
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.
”Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Sekali lagi umat Islam harus waspada dengan jebakan pluralisme yang menyebabkan rusaknya akidah, serta menghantarkannya pada kehinaan di akhirat kelak.
Allahu a’lam.
Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media