Tinta Media - Akhir–akhir ini banyak diberitakan kejadian-kejadian yang sangat memilukan, terutama orang tua dan pendidik. Di antaranya adalah kejadian para pelajar di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, yang tega menganiaya seorang nenek. Aksi penganiayaan ini viral di media sosial. Total ada 6 pelajar yang diamankan polisi terkait kasus ini. Saat diperiksa polisi, mereka mengaku tidak sengaja atau iseng saat menendang korban. Mereka mengaku tidak ada niat untuk melukai dan lain sebagainya.
Bukan hanya itu, aksi bullying atau perundungan juga kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Seorang siswa di SMP Baiturrahman, Kota Bandung, menjadi korban bully teman sekelasnya. Rekan korban lainnya yang ada di dalam kelas hanya melihat aksi bully tersebut. Korban yang terjatuh juga dibiarkan dan malah ditertawakan (Kumparan.com).
Dari dua kejadian tersebut, dan memungkinkan akan ada kejadian lain yang terjadi, sungguh menggambarkan betapa buruk sikap pelajar tersebut. Ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam mencetak anak yang berakhlak mulia, dan juga gagalnya sistem kehidupan, sehingga tak menghormati orang yang sangat tua.
Di kasus lain, bulying antar pelajar tidak diselesaikan dengan tuntas, tetapi dengan kompromi yang tidak memberi rasa keadilan kepada korban. Bahkan, ada kecenderungan sekolah merahasiakan kasus bullying.
Fakta ini jelas kontradiksi dengan program sekolah ramah anak. Ketidaksiapan sekolah dalam program tersebut membuat sekolah justru menyembunyikan kasus. Ini menunjukan potret buruk sistem pendidikan Indonesia. Seharusnya siswa dididik menjadi sosok yang berkepribadian baik. Nyatanya, mereka malah menjadi pelaku buliyying.
Jika kita telusuri apa yang menjadi penyebab anak–anak melakukan prilaku yang tidak beradab tersebut dalam sistem pendidikan saat ini, kita bisa lihat dari tujuan pendidikannya yang hanya mengarah pada unsur untuk mencapai materi. Anak sekolah hanya untuk bisa kerja, sehingga tidak heran jika banyak yang fokus untuk meraih kerja tanpa meperhatikan aspek yang lain, utamanya adab yang menjadi salah satu parameter keberhasilan pendidikan.
Padahal, ada empat pilar pelaksana pendidikan yang harus berjalan secara sinergis, yakni keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Empat aspek ini adalah pelaku yang bisa memberlakukan cara atau mekanisme agar tujuan pendidikan tercapai, bukannya saling menyalahkan satu sama lain.
Jadi, harus ada kerjasama dari empat pilar ini untuk memastikan seseorang bisa memiliki kepribadian yang baik. Jika tidak, maka tidak heran ketika banyak ditemukan realita yang tidak sesuai yang kita harapkan.
Sungguh sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Dalam sistem Islam, tujuan pendidikan adalah melahirkan anak yang berkepribadian Islam. Aspek tingkah laku sangat diperhatikan, bukan hanya kecerdasan.
Saking urgennya adab ini, sampai Islam memberikan arahan melalui dalil-dalinya, di antaranya:
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya, “Hormatilah anak-anak kalian dan perbaikilah adab-adab mereka”. (HR. Ibnu Majah).
Hadis di atas sungguh mengingatkan pada kita sebagai orang tua untuk benar-benar mengajarkan dan memerhatikan adab anak kita. Sungguh Islam dengan kesempurnaan ajarannya sudah membekali kita untuk memastikan pendidikan adab kepada anak. Sehingga lahirlah generasi yang berkepribadian Islam.
Sistem Islam juga memastikan agar kepribadian ini tercapai dalam diri individu. Maka, Islam pun akan memastikan bahwa empat pilar pendidikan ini, yakni keluarga, sekolah, masyarakat dan negara menjalankan tugasnya masing-masing. Dengan begitu, semua pihak merasa dan melakukan tanggung jawab dalam melahirkan generasi berkepribadian Islam. Semua melakukan kontroling. Karena itu, tidak heran dalam Islam pemuda-pemuda yang dicetak adalah pemuda yang memiliki adab yang baik.
Oleh karena itu, sudah selayaknya ketika kita menginginkan adab generasi lebih baik, seyogyanya kita menerapkan aturan Islam secara kafah sehingga terwujud kepribadian remaja yang beradab. Wallahu'alam bishawab..
Oleh: Siti Aisyah, S. Pd. I.
(Guru RA di Rancaekek)