Tinta Media - "Penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi terhadap kondisi rakyatnya," tutur narator Muslimah Media Center (MMC) rubrik Serba-Serbi MMC: Pernikahan Mewah di tengah Penderitaan Hidup Rakyat, Selasa (13/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.
Namun dalam demokrasi, sifat tersebut cenderung akan terkikis habis oleh sekularisme yang menjadi asas sistem ini, lanjut narator, memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan, padahal agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya.
"Jika agama dijauhkan dari kepemimpinan negara maka lahir penguasa yang tidak merasa sungkan atau merasa bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi," paparnya.
Demokrasi yang membentuk kepemimpinan transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan, lanjutnya, konsekuensinya kalaupun dalam sistem terdapat banyak aturan tentang urusan rakyat namun selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis, yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih bagi rakyat, tak heran jika keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata.
"Realita tersebut sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang disebut khilafah. Dalam khilafah, akidah Islam menjadi asas kepemimpinan," ungkapnya.
"Karena itu terwujud sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka, sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka akan berimplikasi pada kehidupan akhirat," tegasnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat."
(Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim)
"Dalam khilafah, syariah Islam menjadi panduan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan," ungkapnya.
Narator memaparkan bahwa syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah menjadi ra'in (pengurus dan pemelihara) serta menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap aqidah dan syariah Islam ini akan menghasilkan sifat wara dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakan untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya, walaupun hanya sedikit.
"Salah satu teladan yang seperti ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan bahwa beliau ketika sedang menyelesaikan tugas kantor di meja kerjanya datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya," paparnya.
Narator melanjutkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lantas mempersilahkan putranya masuk dan mendekat lalu bertanya, "Ada apa putraku datang ke mari, untuk urusan keluarga ataukah urusan negara?"
Narator mengatakan, sang putra menjawab bahwa kedatangannya untuk urusan keluarga, mendengar jawaban itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas mejanya sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Sikap beliau ini membuat anaknya heran, mengapa ayahnya melakukan itu. Sang Khalifah pun menjawab, "Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai penjabat negara. Minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara sedangkan engkau datang ke sini untuk membahas urusan keluarga kita."
Kemudian Khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya. Beliau pun berkata, "minyak untuk menyalakannya dibeli dengan uang kita sendiri."
"Meski di dalam kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara yang dimaksud hanyalah berupa lampu penerang namun beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi meski hanya sebentar," ujarnya.
Dengan sikap dan perilaku penguasa demikian tak heran jika selama 1.300 tahun keberadaan khilafah, rakyat mendapatkan perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasanya. "Kondisi ini tentu tidak akan pernah bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi sekuler," pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin