Pemimpin dalam Kapitalisme, Pastilah Pemimpin yang Mengabaikan Rakyat - Tinta Media

Selasa, 13 Desember 2022

Pemimpin dalam Kapitalisme, Pastilah Pemimpin yang Mengabaikan Rakyat

Tinta Media - Pemimpin adalah pelayan umat, tempat bersandarnya masyarakat dan yang terdepan dalam menghadapi masalah bersama. Bahkan, dia harusnya adalah sosok pahlawan yang mendahulukan kepentingan rakyat daripada urusan pribadi. Pemimpin ibarat penyelamat di tengah badai laut yang menggelora.

Membahas tentang negara, menurut Harold J. Laski, negara dibentuk dengan tujuan untuk membangun kondisi agar keinginan rakyat dapat dipenuhi secara maksimal. Maka dari itu, menurut hemat penulis, tanggung jawab pemimpin adalah menciptakan kondisi yang penuh kebahagiaan bagi rakyat. Kebahagiaan itu sendiri merupakan kesimpulan dari tujuan terbentuknya negara.

Namun, pada perjalanannya, tujuan ini tampak tidak mungkin bisa terealisir. Bayangkan, bagaimana mungkin, satu manusia bisa menjamin kebahagiaan ribuan bahkan jutaan nyawa di negaranya satu persatu?

Untuk mewujudkan tujuan ini, terbentuklah aturan. Sebuah aturan pada negara tercipta dari pandangan hidup tertentu. Perlu kita ketahui, secara garis besar, ada tiga pandangan hidup yang bisa diterapkan dalam ranah negara di dunia ini. Pandangan hidup tersebut meliputi kapitalisme, sosialisme, dan Islam.

Indonesia sendiri, memiliki aturan yang kurang lebih sama dengan kebanyakan negara di dunia. Negeri kita ini memiliki pandangan hidup kapitalisme sebagai dasar aturannya. Sayang sekali, sepanjang penerapannya di manapun dan kapanp un, kapitalisme membawa dampak buruk bagi umat manusia tanpa terkecuali.

Dalam kapitalisme, tidak ada yang lebih diperhatikan ketimbang keuntungan materi. Rakyat pun sebatas alat penghasil cuan. Rakyat sebatas batu loncatan untuk memuaskan hasrat uang dan jabatan. Maka, penguasa yang mengabaikan rakyat bak jamur di musim hujan di negara bersistem kapitalis.

Orang Baratlah yang menyimpulkan keberadaan negara adalah untuk menciptakan kebahagiaan bagi setiap orang. Barat pulalah tempat awal mula munculnya kapitalisme. Namun, kenyataannya negara berasasskan kapitalisme tidak akan pernah mampu mewujudkan kebahagiaan di hati setiap warganya. Mustahil.

Sejarah telah membuktikan hal ini. Sejak kemerdekaan Indonesia, tak terhitung betapa banyak elit-elit politik yang menghambur-hamburkan uang demi jabatan. Janji-janji membumbung tinggi. Mereka menyapa rakyat di berbagai tempat. Namun kenyataannya, mereka berusaha sekeras itu demi korporat, bukan rakyat, demi pihak yang mebiayai mereka agar naik kursi dengan mulus.

Alhasil, setelah menjabat, undang-undang yang dikeluarkan selalu saja pro-korporat dan anti-rakyat. Sebut saja UU TPKS, Omnibus Law, UU tentang KPK, UU KUHP dan lain-lain. Maka, jelas sekali bahwa yang dilayani para pejabat di negara kapitalis bukanlah rakyat, tetapi korporat, cukong-cukong besar.

Pemimpin Prorakyat Hanya Ada dalam Islam

Sudah saatnya umat berhenti berharap pada rezim kapitalis. Selamanya, masyarakat tidak akan sejahtera di bawah kepemimpinan mereka. Alih-alih Menyejahterakan, memikirkan saja sepertinya tidak mungkin. Karena tuan mereka adalah pengusaha besar, bukan rakyat.

Sejak kemerdekaan Indonesia, negeri ini telah bolak-balik ganti presiden. Faktanya, seribu kali pun ganti presiden, selama asas negara adalah kapitalis, maka hasilnya akan sama saja, ibarat masuk ke lubang yang sama ke dua kalinya.

Sebagaimana perumpamaan di atas, siapa pun, jika ia melewati jalan yang sama dengan jalan yang dilewati orang yang sebelumnya jatuh ke dalam lubang, ia pun akan masuk ke lubang yang sama. Maka, solusinya bukan pada ganti ‘pemain’, tetapi mengubah arah jalan.

Begitu pula masyarakat Indonesia. Mereka haruslah belajar dari pengalaman untuk segera berlepas diri dari sistem kapitalisme ini. Selama seluruh rakyat menginginkan, maka kapitalisme ini akan mudah untuk dirobohkan.

Namun, sebelum merobohkan kapitalisme, kita harus mencari dulu apa sistem pengganti yang cocok untuk negeri ini. Mari mengedarkan pandangan ke seluruh negara di dunia satu-persatu. Salah satu ciri negara kapitalis adalah mereka menerapkan demokrasi di negaranya. Maka, bentuk pemerintahan seperti dari republik, kementrian, kerajaan, dan yang lainnya merupakan negara berasaskan ideologi kapitalis yang nasibnya pasti sama dengan negara kita walaupun tidak nampak di depan layar.

Selain berasaskan kapitalisme, negara di dunia saat ini juga ada yang berasaskan sosialisme. Akan tetapi, kita bisa melihat bagaimana dulu negara berpaham kapitalisme seperti Nazi di Jerman. Dalam perjalanannya, negara tersebut selalu membawa pertumpahan darah. Jadi, jangan berharap kepada ideologi ini.

Selain kedua ideologi di atas, tersisa satu ideologi lagi, yaitu Islam. Tidak ada satu pun negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh saat ini. Namun, dalam sejarahnya, Islam pernah diterapkan di sebuah negara bernama Khilafah.

Memang seolah tidak mungkin negara bisa menjamin setiap individu di dalam sebuah masyarakat merasakan kebahagiaan dalam lubuk hati mereka. Namun, sejarah mencatat hal tersebut pernah terjadi dalam institusi khilafah.

Lebih dari seabad yang lalu, khilafah adalah negara adidaya yang dapat bertahan selama belasan ratus tahun lamanya. Dan para pakar dunia Barat atau pun dunia Islam sama-sama memuji bagaimana kesejahteraan yang dicapai oleh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, bahkan warna kulit dan bahasa.

Salah satu cendekiawan Barat, Emmanuel Deutschel dari Jerman mengatakan, ”Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Maka dari itu, sangat wajar bila kami senantiasa mencucurkan air mata ketika kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada merupakan benteng terakhir kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke kekuasaan bangsa Eropa).


Maka, hanya negara yang berideologi Islam saja yang sekarang bisa menjadi tumpuan harapan rakyat. Hanya khilafah yang pantas menggantikan kapitalisme sebagai pemimpin Indonesia dan dunia karena mampu menciptakan kebahagiaan dalam setiap individu manusia.

Sebagaimana dulu pernah terjadi peristiwa tersebut di masa Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa itu, sejarawan mencatat, bahkan tidak ada satu pun individu yang berhak menerima zakat. Ini berarti bahwa seluruh rakyat hidupnya telah tercukupi.

Apalagi sistem Islam berasal dari Allah Swt., Tuhannya manusia. Sebagai Pencipta, Dia pasti mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Alhasil, tiada hukum yang cocok untuk mengatur umat manusia terkecuali hukum Islam.

Terakhir, sekarang tergantung pada rakyat apakah mereka mau segera terlepas dari kungkungan kapitalis dan menyongsong musim semi dalam balutan aturan Islam. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :