Pemimpin Berpesta, Rakyat Menderita - Tinta Media

Rabu, 21 Desember 2022

Pemimpin Berpesta, Rakyat Menderita

Tinta Media - Di tengah kemalangan yang menimpa sebagian masyarakat, seorang pejabat tertinggi negeri ini melangsungkan pernikahan anaknya dengan hajatan dan resepsi yang begitu mewah, tak hanya mewah acara ini pun memanfaatkan sejumlah fasilitas negara untuk alasan keamanan. okezone.com (11/12/2022) 

Sekitar 10.800 personel gabungan TNI-Polri diterjunkan untuk mengamankan pernikahan tersebut, bahkan anjing K-9 juga dilibatkan untuk melaksanakan tugas sterilisasi dan deteksi bahan peledak selama prosesi tasyakuran. Ratusan CCTV juga digunakan untuk membantu pengamanan resepsi, bahkan beberapa petinggi lainnya memantau secara langsung acara resepsi unduh mantu. Selain itu, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju juga membantu acara pernikahan tersebut. okezone.com (10/11/2022). 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengkritik hal ini.

"Tugas utama seorang menteri adalah membantu pemerintah dalam mengurus negara, bukan dalam hal mengurusi hajat pribadi," menurutnya. 

Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang warganet yang mengaku wartawan. Alasan mengapa dia tidak meliput acara pernikahan tersebut karena menurutnya keluarga pejabat ini dinilai tidak memiliki empati kepada rakyat yang sedang susah. 

Pernikahan mewah di tengah penderitaan rakyat yang menjadi korban gempa, PHK, dan stunting, sepatutnya tidak terjadi. Penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi terhadap kondisi rakyat. 

Pemimpin Demokrasi, Krisis Empati 

Dalam sistem demokrasi, sifat kepemimpinan tersebut cenderung terkikis habis. Sekulerisme yang menjadi asas sistem ini berprinsip memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. 

Sejatinya, agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya. Jika agama justru dijauhkan dari kepemimpinan negara, maka akan lahir penguasa yang tidak merasa sungkan atau bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. 

Demokrasi juga dipastikan membentuk kepemimpinan yang bersifat transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan. 

Konsekuensinya, kalaupun dalam sistem ini terdapat berbagai aturan tentang urusan rakyat, tetapi selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih (rifqun) bagi rakyat. Tak heran jika keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata. 

Pemimpin Taat, Peduli Rakyat 

Realita tersebut sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang disebut khilafah. Dalam khilafah, akidah Islam menjadi asas kepemimpinan. Karena itu, terwujudlah sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka kepada rakyat, sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan akan berimplikasi pada kehidupan akhirat. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, _"Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat ...."_ (HR. Abu Dawud Ibnu Majah dan Al Hakim. 

Dalam khilafah, syariat Islam menjadi panduan saat menjalankan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah menjadi ra'in, yakni pengurus dan pemelihara serta menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. 

Kesadaran terhadap akidah dan syariah Islam ini akan menghasilkan sifat wara' (berhati-hati) dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya walaupun hanya sedikit. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu teladan penguasa seperti ini, diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam, datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz lantas mempersilakan putranya masuk dan mendekat lalu bertanya, "Ada apa putraku datang ke sini? Untuk urusan keluarga kita ataukah negara?" 

Sang putra menjawab, bahwa kedatangannya adalah untuk urusan keluarga. Mendengar jawaban putranya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas meja sehingga ruangan menjadi gelap gulita. 

Tindakan beliau ini membuat putranya heran dan menanyakan mengapa ayahnya melakukan itu? 

Sang khalifah pun menjawab _"anakku lampu itu ayah gunakan untuk bekerja sebagai pejabat negara, minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita."_ 

Kemudian khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya. 

Beliau pun berkata, "minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri."

Meski dalam kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara yang dimaksud hanyalah berupa lampu penerang, tetapi beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi walau hanya sebentar. 

Sungguh luar biasa dengan sifat dan perilaku penguasa yang demikian. Tak heran jika selama 1300 tahun keberadaan khilafah, rakyat mendapat perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasa kondisi ini tentu tidak pernah bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi sekuler seperti saat ini.

Oleh: Edah Purnawati
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :