Negara Agraris Harus Impor Beras, Miris! - Tinta Media

Sabtu, 10 Desember 2022

Negara Agraris Harus Impor Beras, Miris!

Tinta Media - Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mengalami kejayaan pada bidang pertanian, hingga mendapat julukan "The Tiger of Asia" atau macan Asia. Itu adalah julukan dunia pada Indonesia. Saat itu, Indonesia mampu mengekspor beras hingga 2 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia mampu memberikan bantuan kemanusiaan ke banyak negara di belahan dunia. Akan tetapi, sekarang ini sungguh miris, negara agraris harus impor beras.

Cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog saat ini hanya  651 ribu ton, jauh  di bawah cadangan ideal sebesar 1,2 juta ton. Budi Waseso mengatakan bahwa cara lain untuk meningkatkan CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yaitu dengan impor.  

"Pemerintah harus bergerak cepat mengambil langkah alternatif untuk memenuhi cadangan beras yang sudah menipis. Kalau terlambat, di satu sisi kita sudah tahu tidak mungkin dalam waktu dekat bisa menyerap dalam jumlah besar, karena selain barangnya tidak ada, harganya tidak memungkinkan," kata Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan komisi 4 DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (6/11) seperti dikutip dari Antara.

Indonesia yang merupakan negara agraris diharapkan mampu mencukupi kebutuhan bahan pangan untuk masyarakatnya dari produksi dalam negeri. Akan tetapi, negeri ini ternyata masih melakukan impor bahan pangan seperti beras dari negara lain. Di pedesaan pun masih banyak  masyarakat yang mengalami kelaparan.

Banyak sekali alasan, mengapa Indonesia selalu melakukan impor beras, di antaranya adalah  karena saat ini stok beras pemerintahan di Bulog sangat terbatas. 

Selain itu, alasan yang sangat krusial adalah adanya alih fungsi lahan persawahan yang saat ini semakin gencar dilakukan. Perubahan lahan pertanian menjadi perkotaan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan mempelebar lahan pertanian. Belum lagi adanya proyek pembangunan di kota, seperti pembangunan bandara, pelabuhan, pembuatan infrastruktur, dan sebagainya. Semua ini turut menyumbang pengurangan lahan pertanian.

Konflik agraria dan sengketa tanah merupakan beberapa gesekan yang bisa mengganggu efektivitas pertanian. Banyaknya pertanian yang beralih fungsi membuat para petani kehilangan mata pencaharian, akhirnya menjadi pengangguran. Jelas, ini menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di pedesaan, yang sebagian besar adalah petani.

Pupus sudah kedigdayaan Indonesia yang pernah menjadi negara swasembada beras. Di mata dunia, Indonesia kini dipandang sebelah mata. Padahal, negeri ini memiliki letak geografis yang menonjol sebagai negara terluas di  kawasan Asia Tenggara dengan sumber daya yang melimpah dan julukan tersohor sebagai negara agraris.

Kapitalis adalah Sebab, Masalah  Agraria adalah Akibat

Kapitalisme yang diterapkan di negeri menyebabkan para oligarki masuk ke setiap lini, termasuk sektor pertanian. Ini menyebabkan kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama. Sistem kapitalisme berpijak pada dasar landasan bahwa yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin lemah. Dari sini dapat dikatakan bahwa kapitalisme dan masalah agraria merupakan suatu hubungan sebab dan akibat.

Sistem kapitalisme dapat menggerogoti sektor pertanian, terutama wacana proyek pembangunan. Sektor pertanian ini merupakan ladang emas bagi para oligarki  asing maupun dalam negeri. 

Agraria Indonesia semakin diselimuti perang kepentingan terselubung dalam proyek pembangunan. Keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi tujuan utama, tanpa memikirkan akibat bagi para petani yang kehilangan mata pencaharian.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seburuk-buruknya pemimpin adalah yang al huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi rakyat nya)." (HR. Muslim)
Hadis ini merupakan peringatan buat para pemimpin negeri.

Ada hadis lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. 
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi dari harga-harga kaum muslimin, untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak)." (HR. Achmad, Al Baihaqi, At Thabrani)

Di dalam daulah Islam, seorang pemimpin negara mewajibkan kepada seluruh pejabatnya untuk memberikan perhatian penuh kepada rakyatnya, memastikan persediaan stok pangan apakah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Seorang pemimpin negara harus selalu mengingatkan kepada para pejabatnya untuk melakukan aktivitas produksi. Hal ini dengan melakukan pembinaan petani lokal, terutama terkait intensifikasi produksi. Negara mengatur penggunaan lahan pertanian dengan rinci, sehingga tidak akan terjadi alih fungsi lahan  yang dapat menyempitkan lahan pertanian.

Kemandirian negara dalam Islam dilakukan dengan mengharamkan segala bentuk kemungkaran bagi semua pihak di sektor apa pun, baik oleh asosiasi pengusaha, importir, atau pedagang yang melakukan kesepakatan, kolusi, atau persekongkolan dengan tujuan mengatur dan mengendalikan harga atau produk, misalnya dengan menahan atau menimbun stok maupun membuat kesepakatan harga jual sebagaimana yang dilakukan kartel pangan saat ini.

Kemandirian dalam produksi pangan sangatlah penting. Negara wajib mewujudkan swasembada, agar tidak bergantung pada negara lain. Impor tidak diharamkan dengan syarat tidak membahayakan kedaulatan negara.

Hanya dengan sistem Islam, tata kelola pangan bisa dituntaskan. Sudah saatnya umat Islam berpikir untuk berpaling dari sistem kapitalisme yang selamanya selalu menyengsarakan rakyat, ke sistem Islam yang dibuat oleh yang menciptakannya, yaitu Allah Swt. Dengan Islam kaffah, negeri ini akan memecahkan segala problematika umat di muka bumi ini.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Titien Khadijah
Muslimah Peduli Umat

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :