Tinta Media - Senin, 21 November lalu, kita dikejutkan dengan kabar terjadinya gempa bumi di Cianjur dengan kekuatan 5.6 SR. Gempa itu menimbulkan korban meninggal dunia 331 orang, 14 orang belum ditemukan, ratusan orang terluka, dan ribuan rumah serta bangunan hancur. Berbagai fasilitas publik, termasuk jalan dan jembatan rusak sehingga banyak tempat terisolasi dan warga tinggal di pengungsian.
Gempa Cianjur terasa getarannya sampai di Jakarta, Sukabumi, Bandung, dan sekitarnya, sehingga bantuan banyak berdatangan untuk membantu korban gempa. Hanya sayang, banyak bantuan yang tidak bisa didistribusikan ke seluruh korban karena akses ke posko-posko sulit.
Secara keilmuan, gempa bumi Cianjur terjadi karena adanya pergeseran lempeng bumi. Negara Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng bumi, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik yang dikenal dengan sebutan Cincin Api Pasifik. Ciri khas wilayah ini adalah banyaknya gunung berapi aktif dan rawan gempa bumi.
Gempa Cianjur pun tidak selesai hari itu saja. Gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil terus terjadi. Bahkan sampai tgl 4 Desember 2022, telah tercatat di BMKG sebanyak 232 kali gempa.
Selain di Cianjur, di hari yang sama juga terjadi gempa di kepulauan Aru, Maluku, Jayapura Papua, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Tasikmalaya dengan kekuatan di bawah 5.0 SR. Di Garut terdeteksi gempa dengan kekuatan 6.4 SR.
Secara teologis, kaum mukminin wajib mengimani bahwa tidak ada satu pun musibah terjadi tanpa izin atau kehendak Allah Yang Mahakuasa atas langit dan bumi, termasuk menggeser lempeng bumi.
Seperti firman Allah QS At-Taghabun ayat11, yang artinya:
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah."
Berarti musibah adalah bagian dari Qadha Allah Swt. (Qs Al Hadid: 22).
Sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. terhadap qadha Allah adalah rida (menerima).
Menurut para ulama, musibah gempa bumi mempunyai dua arti, yaitu sebagai ujian atau sebagai bentuk peringatan dari Allah Swt.
Sebagai ujian, maka Allah memberi apresiasi bagi mukmin yang sabar, seperti firman-Nya:
"Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah: 155).
Jadi, sikap seorang muslim saat ditimpa musibah adalah harus sabar dan tawakal kepada Allah Swt.
Selain sabar, saat terjadi musibah, seorang muslim juga diperintahkan untuk segera bertobat kepada Allah Swt. dan melakukan muhasabah. Ini karena Allah mengingatkan bahwa musibah terjadi bukan karena Allah kejam, tetapi karena perbuatan dosa manusia seperti yang tercantum dalam QS. Asy-Syura ayat 30, yang artinya:
"Musibah (bencana) apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan (dosa) kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan - kesalahan kalian).
Sungguh negeri ini sekarang sedang dilanda musibah yang bertubi-tubi. Sudah seharusnya kita bermuhasabah. Sekarang waktunya kita bertobat kepada Allah Swt. baik secara personal maupun kolektif. Itu karena tidak bisa dimungkiri bahwa negeri ini mayoritas muslim, tetapi banyak terjadi pelanggaran pada hukum- hukum Allah. Di negeri ini banyak terjadi korupsi (pejabat tidak amanah), LGBT, penistaan agama Islam, beragam kezaliman, adu domba antar golongan, dll.
Kaum muslimin Indonesia harus melakukan taubatan nasuha, kembali kepada Allah Swt. dengan menaati semua aturan-Nya. Kita harus menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk, sebab pangkal dari segala musibah adalah berpalingnya manusia dari Al-Qur'an. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Thaha ayat 124, yang artinya:
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al Qur'an), sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari Kiamat nanti dalam keadaan buta.
Kondisi kehidupan yang sulit tidak boleh berlangsung seterusnya. Kaum muslimin harus segera mewujudkan ketaatan penuh kepada Allah Swt. dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Wallahu 'alam bisawab.
Oleh: Wiwin Widaningsih
Sahabat Tinta Media